Skip to content

Jika Suami Gantikan Peran Istri

Kalau tidak salah pada 29 Mei 2012, tiba-tiba saya ditelpon oleh mba Tari dari Wanita Indonesia. Rencananya WI akan mengangkat pengalaman saya dan suami yang mengalami “stay at home dad”. Mba Tari ini menemukan saya di blog ini ketika sedang browsing. Sebenarnya beliau ingin wawancara langsung dengan kami, tapi mengingat posisi saya ada di Yogya, akhirnya interview dilakukan per email.

Pertanyaannya cukup panjang hehe… (saya copas tanpa editing):
1. Kapan memustuskan untuk mencoba bertukar peran, apa sebabnya (Penghasilan Mba Wiwin lebih besar kah)? Bagaimana ceritanya?
2. Pembagian perannya seperti apa? Batasannya bagaimana?
3. Bagaimana tanggapan keluarga dan orang sekitar?
4. Adakah yang meledek? Bagaimana Mba Wiwin dan suami mengatasinya?
5. Bagaimana dengan tanggapan anak-anak?
6. Pernahkah mereka ditanya teman-temannya dan malu? Kalau ada, contoh ceritanya dong?
7. Bagaimana memberi pengertian ke mereka?
8. Hingga kini masih bertukar peran kah?
9. Apa suka dan dukanya tukar posisi?
10. Tips dari Mba wiwin bagi mereka yang ingin mempraktikkan hal serupa?

Setelah interview per email selesai, dilanjutkan dengan melalui telepon, baik ke saya maupun ke suami saya. Ya iyalah.. musti dua-duanya diwawancara donk ya 🙂 Beruntung kami pernah diwawancarai juga oleh majalah Intisari pada bulan Desember 2011 untuk topik yang sama. Sehingga tidak ada kesulitan bagi kami untuk menyampaikan hal-hal yang bisa di-share.

WI-SAHD
Cover tabloid Wanita Indonesia 1170

Alhamdulillah akhirnya sharing kami sudah dimuat di tabloid Wanita Indonesia edisi 1170 tanggal 9-15 Juni 2012, dengan judul “Stay At Home Dad? Why Not!”, bisa ditemukan di halaman 25 pada rubrik Relasi.

Kami senang berbagi apa saja yang bisa bermanfaat bagi semua orang. Tentang topik yang satu ini, barangkali sudah dikasih jalan oleh Allah SWT sehingga kami berani berbagi. Banyak ‘kan di luar sana para suami-istri yang malu untuk mengungkapkan bahwa sebenarnya mereka mengalami seperti yang kami alami. Bisa jadi mereka malu karena budaya di Indonesia, apalagi di Jawa, yang memandang sinis keadaan seperti itu. Tidak semua pria yang di rumah itu cuma ongkang-ongkang kaki, apa-apa minta duit ke istrinya lhoooo… Atau bener-bener 100% menjadi Bapak Rumah Tangga, oh tidakkk.. Tapi pasti ada alasan lain yang kuat sehingga pergantian peran itu harus terjadi.

Sayangnya tidak semua orang bisa berempati dan bisa mengerti orang lain 🙂

Semoga apa yang kami share baik di blog, di majalah, maupun di tabloid bisa bermanfaat bagi semuanya. Minimal bisa membukakan mata mereka-mereka yang tidak mau mengerti bahkan memandang sinis relasi yang seperti ini.

WI-1

WI-2

WI-3

12 thoughts on “Jika Suami Gantikan Peran Istri”

    1. mba Lutfi.. tapi si Oom enjoy aja ‘kan ?? Maksudku walo mungkin kadang susah menghadapi “pertanyaan2 tetangga, tapi tetap enjoy dengan pilihan hidupnya.

  1. Mbak..kami juga SAHD..
    sebenernya dari duluuuu juga suamiku gak kerja kantoran..secara dia seniman, lebih sering dirumah, nglukis..kadang2 freelance apaa gitu..tapi sejak kami punya baby (anak ke-2), kebutuhan makin nambah, dia kerja mbak..dan hasilnya makin “awut” an kami mbak..akhirnya dia milih resign biar bisa urus RT lebih fokus..yg gak bisa dibeli adalah waktu bersama anak2 (meski anak2ku dia Day Care n PAUD dari jam 7 pagi sampe jam 5 sore)..
    kalo pulang kerja kmrn2 kami dah capek..jd waktu berkualitas dg anak2 gak ada..jd sedih..
    trus waktu dia kerja full time itu anak2ku sakit2an mbak..masak 2 bulan kerja full time anak2 ganti2 ke dikter sampe 5x??
    dan sekarang kami kembali hepii…suami n istri bertukar peran n saling berbagi..
    sebenernya..mesakke suamiku di keluargaku agak “dianggep’ kayak suami mba wiwin gitu..
    tapi aku prinsipnya..kebahagiaan gak bisa dinilai dg suami kerja diluar rumah..krn kenyataannya..malah mawut2 ketika dua2nya kerja full time..
    dan kebahagiaan itu datangnya dari hati..ketika kita tidak membandingkan milik kita dengan milik orang lain…
    kadang puyeng juga kalo pas lagi bokek..tapi lebih puyeng lagi kalo liat anak2 gak keurus n sakit2an..ada duwit tp kali sakit2 an mana ada hepii nya?? hehehehehe..kok malah curhat…
    selain itu..kalo kami berdua fulltime diluar rumah, komunikasi juga jadi agak “tersendat” karena dah sama2 capek n hidup kok rasane koyo dioyak2 waktu…bangun pagi2..beres2…trus berangkat bareng..ketemu dah malem…beberes rumah teruuusssss kayak gitu..aku sendiri kerasa capek..
    Ahhhh sabodo’ kata orang, yang pasti kami sekarang (aku n suami) merasa sangat sangat hepiiiiiiii dengan pilihan ini mbak…Alhamdulillah…sesuatu banget…karena dia (suamiku) juga bisa kembali melukis..dan mengurus kebun lomboknya…kebahagiaan yang tidak ternilai adalah ketika kita bisa menikmati hidup kita, karena dengan itu kita jadi lebih bersyukur…

    1. Mba Aning..
      Thanks for sharing-nya yaa..
      Betul mba, kebahagiaan yg kita miliki harus kita sendiri yg menciptakan, bukan nunggu dikasih dari orang lain. Kesusahan kita pun kita sendiri yg merasakan, orang lain paling cuma ngelirik dikit trus berlalu hehehe..
      Sebagai istri, kita wajib memberikan dukungan kepada suami kita mba, supaya itu tadi yaitu tercipta kedamaian dan ketenangan batin dalam membina rumah tangga kita 🙂

  2. salut untuk suami mba wiwin yang mau bertukar peran.
    terkadang yang tia liat , lelaki itu gengsi ngerjain kerjaan rumah.
    jangankan kerjaan rumah, bantu urus anak saja tidak semua bapak mau mengerjakan.
    giliran anak dipuji orang baru bilang: “anak siapa dulu?..anakku”
    gubrakkkk deh!!!
    padahal dia bantu apa dalam merawat anak.
    pergi gelap pulang gelap, tanya kabar anakpun tidak.
    hasil rupiah yang didapat, aduch hari gini kalo penghasilan masih di bawah 5 juta yaaaach gak cukup lah dengan kondisiku dua “dapur”.
    aku kagum dengan kekompakkan mba wiwin dan keluarga.
    WI nya must have nih!!!!
    makasih udah share ya mba…

    1. Mba Tia..
      Makasih udah mampir dan kasih comment yaaa..
      Bersyukurlah mba Tia punya suami yang punya pekerjaan tetap sebagai abdi negara. Terima dan nikmati apa yg mba Tia dapatkan sekarang ini ya, saling support aja supaya kedua belah pihak merasakan kedamaian walo kadang terpisah jarak dan waktu karena punya tugas masing-masing 🙂

  3. mba wiwin…
    curhatt yaa…saya dan suami adalah wirausaha di bidang konstruksi. sebenernya itu bidang saya, tapi karena saya musti ngurus anak dan rumah..akirnya kita bagi tugas.suami lebih fokus ke manajemen tukang+proyek.
    Saya lebih fokus di ngerjain gambar dan follow up klien. Masalah datang kdg krn ego yg sama-sama tinggi. Suami kadang merasa ga pede krn itu bukan bidangnya. Belum lagi di bulan-bulan awal, banyak tukang yg menyepelekan suami saya krn dianggap tidak berpengalaman di proyek. butuh waktu lamaaaaa utk beradaptasi. bahkan sampai saat ini. kemaren sempet pada titik jenuh…dan kepikiran mau bikin usaha baru aja. hehehhehe…

    tulisan mba win sangat menginspirasi saya.
    bahwa setiap rumah tangga mempunyai keunikan masing-masing..
    mempunyai pendekatan masalah berbeda.
    salut dengan mba wiwin+pak mahatma yg saling mengerti.
    hiks..hiks..malah jadi terharu gini ya..
    saling mendoakan yaa mba…:D:D

    1. mba Errika…
      Thanks for curhatnya 🙂
      Maka dari itu mba, aku tidak pengin memaksa suamiku untuk mengerjakan sesuatu yg bukan bidangnya walo mungkin itu menghasilkan uang. Rasanya lebih enak kami nikmati seperti sekarang ini saja hehehe..
      Mungkin ada baiknya dikomunikasikan lagi sambil ditata ulang, mba Err..:-) Atau itu tadi “buka usaha baru” yang mana suami bisa menemukan passion disitu dan bisa dikerjakan bareng 🙂

Leave a Reply to Wiwin Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *