Biasanya orang ingat mati ketika berziarah kubur. Mungkin untuk itulah ada tradisi tahunan dimana orang-orang berziarah kubur, khususnya satu bulan menjelang bulan Ramadhan. Aku tidak tahu pasti apakah itu hanya tradisi turun-temurun atau bagaimana. Toh biasanya di hari pertama Idul Fitri, setelah pulang dari Shalat Ied, orang-orang juga berziarah ke makam leluhur mereka.
Rasanya tidak afdhol juga bila menjelang bulan Ramadhan ini aku tidak ziarah ke makam leluhur. Lagian tiap tahun aku juga selalu melakukannya. Kemarin aku sempatkan ziarah ke makam pas bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Maksud hati bukan di-pas-pas-in koq, karena sebenarnya rencanaku adalah hari Minggu 16 Agustus. Tapi karena suami dan anak sudah kecapekan (tidur sampai sore), akhirnya kami putuskan untuk pergi hari Senin aja. Sekalian mampir rumah ibuku (nenek Satria).
Makam pertama yang kami kunjungi adalah makam Pakdhe dan Budhe. Beliau ini tempat aku ‘ngenger’ sejak usia 12 tahun hingga ‘mentas’ (dapat pekerjaan). Entah kenapa Pakdhe dan Budhe inilah yang sering hadir dalam mimpi-mimpiku. Beberapa malam menjelang ziarah ke makamnya, Pakdhe serasa hadir di mimpiku dan beliau minta dijerangkan air untuk mandi (dulu Pakdhe memang biasa mandi pakai air hangat). Alhamdulillah air tersebut habis dipakai mandi oleh Pakdhe. Kalau kata suamiku, itu artinya Pakdhe minta dikirimi do’a. Gitu…
Ini makam Pakdhe dan Budheku yang terletak di makam dusun Purworejo Jl. Kaliurang:
Setelah dari makam Pakdhe dan Budhe, kami menuju desa Pentingsari (tanah kelahiranku) untuk ziarah ke makam simbah (orang tua Bapak). Sekian lama tinggal di Pentingsari dan sering ziarah ke makam ini, tapi aku tidak tahu bahwa sebenarnya makam dusun Pentingsari ini bersejarah. Di depan pintu masuk ada tulisan sebagai berikut: “Makam Pentingsari dahulu digunakan sebagai tempat perlindungan tentara Siliwangi terhadap serangan tentara Belanda yang bermarkas di Kaliurang. Menurut cerita penduduk, di makam ini terdapat makam sesepuh yang mempunyai kekuatan supranatural, yaitu Mbah Suro Sumito. 40 hari sebelum meninggal, beliau mengatakan bahwa beliau akan meninggal pada hari senin legi, dan itu benar-benar terjadi. Setelah itu, makamnya dianggap keramat dan digunakan untuk menahan serangan Belanda karena peluru Belanda tidak dapat menembus makam tersebut.” Iya baru tahu…Dan yang kutahu, mbah Suro Sumito (yang benar adalah Suro Semito) itu adalah embah buyutku. Hihihi… kemarin sempat bilang ke Satria bahwa kita adalah keturunan keluarga pejuang ๐ . Hopefully bener ya… secara bapak-ibuku tidak pernah menceritakan hal ini.
Ternyata aku juga baru tahu bahwa dusunku punya website sendiri untuk promosi wisata. Pengin mampir? Silakan klik disini.
Alhamdulillah, ziarah kubur kali ini mendapatkan beberapa manfaat, antara lain bener-bener mendidik kita untuk selalu ingat mati maka dari itu perbanyaklah ibadah, selain itu juga jadi tahu bahwa makam Pentingsari itu makam yang bersejarah.
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga, dan freelance blogger. Baginya blog adalah ruang berbagi inspirasi dan media menulis untuk bahagia. Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Assallamu’alaikum Mbak, mau tanya, apakah mbah Suro Semito punya kakak bernama Suro Menggolo, teliksandinya Pangeran Diponegoro sewaktu perang Jawa, saya keturunan mbah Suro Menggolo (bukan Warok Suro Menggolo Ponorogo),
Terimakasih