Skip to content

Long Distance Single Parent

Tidak terasa sudah 19 hari menjalani long distance single parent. Pengalaman yang tidak baru buat saya karena sejak kecil saya sudah terbiasa long distance dari bapak dan diasuh oleh ibu single parent. Ketika itu sejak usia saya 6 tahun bapak harus merantau ke Sumatera Utara karena sebagai PNS guru SMP beliau pertama kali ditempatkan disana. Beliau pulang hanya setahun sekali ketika libur panjang kenaikan kelas. Jaman dulu ‘kan kalo libur kenaikan kelas ga cuma seminggu, tapi sebulan, jadi terasa panjang sehingga cukup bagi bapak untuk pulang dan berkumpul bersama kami. Dan bapak baru bisa 100% pindah ke Jawa, kembali ke tengah-tengah keluarga, adalah ketika saya sudah SMA. Nah otomatis dalam waktu sekian lama (10 tahun lebih sepertinya) ibu saya menjadi seorang single parent buat keempat anaknya (saya dan 3 orang adik saya). Alhamdulilah ibu punya bisnis kecil-kecilan yaitu menjahit yang tentunya bisa menjadi kesibukan dan hiburan untuk ibu. Selama long distance itu, saya tidak pernah tahu apa dan bagaimana yang dirasakan bapak dan ibu saya. Sebagai anak, saya hanya merasa hidup normal seperti teman-teman yang lain meskipun terpisah jarak ruang dan waktu dengan bapak.

Karena saya sudah terbiasa hidup dalam kondisi long distance single parent, maka ketika suami harus berada beberapa hari jauh dari saya, tidak ada kesulitan yang berarti buat saya untuk melanjutkan kehidupan, meskipun harus mengurus rumah dan anak sendirian. Alhamdulillah anak sudah besar dan saya sendiri punya kesibukan (nguli). Kesibukan saya bisa mengalihkan perasaan-perasaan yang tidak penting yang biasanya mengganggu orang-orang yang tidak ada kesibukan namun sedang kesepian. Kesibukan saya bisa menjaga pikiran saya tetap positif, jauh-jauh deh dari mikirin hal-hal negatif. Justru doa-doa yang baik yang selalu saya selipkan di setiap tarikan napas dan kesibukan saya. Semoga Allah SWT menjaga suami yang disana dan menjaga kami yang disini.

Sisi positif dari long distance ini antara lain membuka mata saya bahwa ternyata anak saya sebenarnya sudah pengin dan mau mandiri. Selama ini agak diproteksi oleh ayahnya hehehe.. Maklumlah, anak satu-satunya sehingga ada kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu atau cukup diminimalisir saja. Sejak ayahnya tidak di rumah, Satria sekolahnya naik sepeda. Seminggu pertama masih dikawal oleh pamannya. Sampai suatu hari Satria tidak setuju kalo dikawal terus, sehingga tiap pamannya menjemput Satria selalu melewati jalan tikus hehehe..katanya supaya si paman tidak melihatnya. Akhirnya ya sudah, saya ijinkan Satria pergi dan pulang sekolah sendiri naik sepeda tanpa pengawalan sama sekali. Saya selalu mewanti-wanti supaya berhati-hati di jalan.

Sebagai single parent sesaat (gak selamanyalah yaa…), ternyata tidak terlalu berat juga. Karena saya dan anak saling mendukung. Anak tidak merepotkan, malah mandiri. Saya pun berusaha untuk memberinya perhatian semaksimal mungkin. Kalau ketika ada ayahnya, dia pulang sekolah sudah diurus ayahnya, nah sekarang saya yang harus turun tangan yaitu minimal mencek lewat telepon. Apakah sudah mandi, apakah sudah makan, apakah sudah les, dan sebagainya. Terkadang ndableg-nya juga muncul, mungkin karena tidak ada yang disegani. Tapi ga papa-lah selagi masih dalam batas kewajaran.

Sejak masih berusia 19 tahun saya sudah terbiasa hidup mandiri. Punya penghasilan sendiri, menghidupi diri sendiri, mengurus diri sendiri, mencukupi kebutuhan sendiri. Maka ketika harus menjadi single parent sesaat, saya pun selalu siap. Sekarang sih sebenarnya beruntung karena tidak sendirian, yaitu ada anak yang menemani 🙂

Menghadapi kenyataan hidup dimana suatu saat saya dan suami harus mengambil keputusan untuk long distance dan saya siap ber-single parent ria, insyaallah bukan hal yang berat buat saya. Toh tujuan kami baik. Mungkin memang sekali waktu ada yang harus kami korbankan yaitu kebersamaan. Tapi saya yakin jika kami saling menjaga kepercayaan, terus saling berkomunikasi, saling menjaga pikiran tetap positif, saling mendoakan yang baik, maka Allah SWT pun akan menjaga kami.

Dan mulai hari ini saya menghitung hari.. Senin.. Selasa.. Rabu.. Kamis.. Jum’at.. Long distance single parent babak pertama akan segera usai 🙂

long-distance-single-parent

Dear Pembaca, apakah Anda juga punya pengalaman long distance atau single parent? Boleh donk berbagi pengalaman.. caranya mudah koq.. Tuliskan aja pengalaman Anda seputar long distance dengan pasangan atau ‘terpaksa’ jadi single parent (sesaat maupun selamanya) di blog Anda sendiri. Anda boleh pilih salah satu dari pengalaman tersebut. Lalu, kasih saya URL link tulisan Anda di kolom komentar di bawah ini. Untuk 5 (lima) tulisan pertama, saya akan kasih hadiah menarik, yaaa semacam give away gitu dehhh :-).. Saya tunggu partisipasinya sampai paling lambat tanggal 30 September 2014 yaa..

1 thought on “Long Distance Single Parent”

Leave a Reply to okta8 Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *