Lompat ke konten
Home » Kesehatan » The Secret to Healing is Forgiveness

The Secret to Healing is Forgiveness

  • oleh

Setelah kemarin saya memposting kisah kesembuhan Aprilia dari kanker, ternyata masih ada kelanjutan kisahnya; dan saking panjangnya maka saya kasih judul singkat yaitu obat kanker itu ada di rumah. Kenapa saya kasih judul ini? Kita simak saja yaaa.. sampai tuntas 🙂

Sekali lagi, terlepas dari keyakinan yang dianut Aprilia, saya yakin ada pelajaran-pelajaran di dalamnya yang bisa kita ambil atau bermanfaat untuk kita. Mari kita simak penuturan Aprilia berikut ini, semoga bermanfaat 🙂

Konseling Pertama Saya

Setelah postingan kesaksian saya kemarin (tentang pengampunan), cukup banyak yang menginbox saya, yang tanya-tanya tentang bagaimana prosesi saya mengampuni. Mereka heran, koq saya (kelihatannya) begitu mudahnya mengampuni. Sementara mereka sulit sekali mengampuni. Dan masih ada pertanyaan-pertanyaan lain yang mereka tanyakan sesudah itu.

Jujur, saya agak belibet sendiri menjawabnya. Karena pertanyaan-pertanyaan mereka itu butuh jawaban yang panjang lebar, saya pikir sayang juga kalo cerita itu cuma saya bagikan ke satu dua orang saja. Kalo cerita itu saya posting secara terpisah, pasti bisa dibaca oleh lebih banyak orang.

Cerita ini akan saya tulis sedetail mungkin, sesuai dengan pembelajaran yang saya dapat saat konseling. Tapi sekali lagi saya sampaikan, bahwa konseling yang saya jalani ini konseling secara Kristiani, jadi mohon maaf kalo prosesi doa dan hasil pembicaraan kami kadang bawa-bawa isi alkitab. Saya mohon dengan sangat, bagi yang berbeda keyakinan agar tidak menuduh saya yang bukan-bukan. Tidak mungkin ‘kan, kisah hidup ini berubah gara-gara rasa sungkan saya. Saya hanya menceritakan apa adanya, sesuai yang terjadi.

Satu lagi, hal yang paling membuat saya sulit menceritakannya adalah karena saya takut dituduh mencemarkan nama baik orang lain. Karena saat saya menceritakan sakit hati saya, pasti saya akan menyebut orang-orang tertentu dalam cerita saya. Lha wong saya sakit hatinya sama orang, bukan sama kucing. Dan karena namanya juga sakit hati, pasti yang saya pikirkan tentang orang itu pasti ya jelek-jeleknya. Mana ada orang sakit hati koq yang dipikir baik-baiknya.

Jadi, sebelum baca sampai tuntas, please jangan ikut menghakimi orang-orang yang saya sebut. Karena nanti pada akhirnya, saat konseling, saya baru ditunjukkan, kalo saya sakit hati sama seseorang itu belum tentu 100% orang itu yang salah atau jahat. Kadang itu karena pola pikir saya sendiri yang salah, jadi suka berprasangka buruk. Dari konseling-konseling ini, saya baru tahu kalo orang berbuat “jahat” itu karena ada alasannya. Ada sesuatu dalam dirinya yang jadi pemicu dia untuk menyakiti orang. Karena faktanya, kejadian-kejadian dalam hidup saya pun kadang memicu saya untuk salah berpikir atau bertindak, sehingga akhirnya saya pun jadi menyakiti orang. Saya berharap, ketika baca kesaksian-kesaksian saya nantinya, teman-teman bukan terfokus pada siapa yang jahat atau siapa korbannya. Tapi fokuslah pada alasan-alasan di baliknya, supaya ketika melihat “orang jahat” dalam cerita saya, teman-teman tidak menghakimi, apalagi mengutuki mereka. Dan ketika melihat isi hati saya, teman-teman enggak menganggap saya sebagai “korban penganiayaan”, lalu memberikan rasa kasihan yang berlebihan. Kita bisa memandang peristiwa dengan lebih objektif dan netral.

***

The Secret to Healing is Forgiveness

Saat konseling pertama, awalnya Cie Yenita Sanditia memberi penjelasan mengenai pentingnya mengampuni dan bla.. bla.. bla.. Tapi saya sudah enggak tahan menunggu Cie Yenita selesai memberi penjelasan. Mungkin karena dari awal, saya memang sudah tahu manfaat pengampunan dan sudah bersedia mengampuni. Jadi harapan saya, lebih baik segera saya tumpahkan segala uneg-uneg saya, lalu didoakan, lalu saya berhasil mengampuni, lalu saya plong, lalu saya sembuh dari kanker, lalu saya berhenti kemo. Kalo perlu, penginnya kepahitan ini bisa tuntas dalam sekali konseling. Itu impian saya. (Hehehehe, maunya serba cepet & instan nih saya, karena saya gak mau lama-lama berurusan dengan kanker).

Jadi setelah saya diberi kesempatan menceritakan segala uneg-uneg saya, keluarlah beban saya.

Pertama, saya ceritakan kemarahan saya kepada mama saya. Karena saya merasa dituntut terlalu banyak, merasa diperlakukan dengan pilih kasih, merasa disakiti dengan kata-katanya yang tajam, dsb, dsb. Daftar kemarahan saya sangat banyak tentang mama, mungkin kalo ditulis di kertas, bakal butuh 1 lembar folio.

Kedua, saya cerita tentang kemarahan saya kepada adik saya, karena saya merasa kata-katanya sering menyinggung dan menghina saya, saya merasa adik saya melakukan tindakan bla bla bla (ada 100 kejadian lebih yang saya ceritakan) yang membuat saya tersakiti.

Ketiga, saya ceritakan kemarahan saya kepada mantan saya yang bla bla bla (ada puluhan lebih kejadian yang saya ceritakan), yang menyakiti saya.

Sudah itu saja.

Walau saya merasa daftar kemarahan saya kalo ditotal bisa mencapai ratusan, saya merasa cuma 3 orang itu yang menjahati saya. Jadi saya pikir, kepahitan saya ini enggak banyak-banyak amat. Paling sekali doa, trus nyebut nama 3 orang itu, trus saya ampuni, selesai. Yah, mungkin cara doanya pas konseling nanti seperti biasanya ketika saya mencoba berdoa sendiri untuk mengampuni mereka. Saya pikir, mungkin kalau yang doa memang ahlinya, hasilnya bisa beda dengan kalo saya doa sendiri.

Itu tadi konsep saya ya.. Maunya saya, pikiran saya, perasaan saya, imajinasi saya, ekspektasi (harapan) saya. Apakah itu benar atau salah, nanti akan ditunjukkan satu per satu dalam dialog kami selanjutnya.

obat kanker

Setelah selesai menumpahkan uneg-uneg dan harapan saya, respon Cie Yenita benar-benar di luar dugaan saya. Cie Yenita bilang:

Mengampuni itu tidak bisa main pukul rata begitu. Saya tidak bisa bilang: “Saya mengampuni si A untuk semua kesalahan yang sudah dia lakukan.”

Mengampuni itu harus spesifik. Saat doa mengampuni, saya harus bilang: “Saya mengampuni sia A dalam peristiwa bla.. bla.. bla.., pada waktu kejadiannya bla.. bla.. bla.., karena kejadian itu membuat saya merasa bla.. bla.. bla..”

Wah, ini baru bagi saya. Mana saya tahu kalo mengampuni itu harus spesifik atau detail. Pantes aja, selama ini doa-doa pengampunan saya terasa tidak ada hasilnya, karena saya cuma pukul rata. Gebyah uyah, kalo pake istilah orang Jawa.

Karena saya orang yang logis, saya tidak suka dengan info yang gak ada dasarnya, maka saya mencoba menganalisa, kenapa harus spesifik. Lalu saya membayangkan, andai orang yang dulunya membuat saya sakit hati terlalu dalam tiba-tiba datang ke saya, lalu minta maaf, kalimat apa ya yang saya harapkan dari dia? Ternyata, saya merasa jauh lebih senang kalau ddia bilang: “Maafkan ya, karena dulu pas kejadian anu, saya pernah berbuat ini itu ke kamu, sehingga membuat kamu merasa begini dan begitu”.

Kalimat itu melegakan saya, karena kalo sampai dia bilang begitu, artinya dia tahu persis dimana letak kesalahannya. Dan kalo sampai minta maaf untuk kejadian itu, artinya dia benar-benar menyesal dan ikhlas minta maaf. Kalau dia cuma bilang “Maafkan semua kesalahanku ya..”, bagi saya terasa seperti basa basi saja. Belum tentu dia tahu persis apa salahnya. Ada unsur psikologi disini. Saya tidak tahu, apakah ini cuma terjadi pada saya, ato teman-teman juga mengalaminya.

Karena saya membutuhkan permintaan maaf yang spesifik untuk peristiwa-peristiwa yang melukai hati saya terlalu dalam, artinya ketika mau mengampuni pun saya harus mengampuni untuk kesalahan yang spesifik Oke, karena logika saya bisa menerima “ilmu baru” itu, makanya saya setuju untuk doa spesifik.

Nah, tapi muncul masalah baru. Berarti yang harus saya bereskan bukan 3 orang (seperti dugaan awal saya), tapi ratusan kejadian yang saya sebutkan itu tadi. Waduh, saya harus mulai dari mana? Bakal selesai berapa lama konseling saya? Itu pikiran saya.

Cie Yenita lalu bilang: “Enggak tahu. Saya cuma manusia biasa, saya bukan psikiater, jadi saya enggak tahu mana yang harus dibereskan lebih dulu. Fungsi saya disini bukan konselor, tapi fasilitator. Tuhanlah yang akan mengkonseling kamu. Makanya kita harus tanya Tuhan lewat doa listening praying. Minta Tuhan tunjukkan, hal apa yang harus kamu bereskan dulu untuk hari ini.”

Ini ilmu baru lagi buat saya. Apa itu listening praying? Apa maksudnya saya konselingnya ke Tuhan?

Lalu Cie Yenita jelaskan: “Tuhan itu tahu kehidupan kita, bahkan sejak kita masih dalam kandungan. Tuhan tahu persis sejarah hidup kita, keluarga besar kita, background kita. Bahkan untuk hal-hal yang kita sendiri pun enggak tahu. Tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. Karena Tuhan tahu semuanya, maka Tuhan juga yang paling tahu hal apa yang harus dibereskan lebih dahulu. Nanti ketika doa, minta Tuhan berikan petunjuk, lalu kita ikuti petunjuk itu.”

Oke lah, saya manut aja. Ayo kita listening praying. Gitu respon saya.

Waktu listening praying itu, yang Tuhan tunjukkan malah hal yang berbeda sama sekali. Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Saya seperti melihat video kehidupan saya diputar ulang dan saya diingatkan kejadian masa saya SD dan SMP. Ketika itu, saya tidak punya teman, saya selalu jadi bahan ejekan teman sekelas. Kalo ada pembagian kelompok, mereka selalu berebut untuk menolak saya masuk ke dalam kelompok mereka. Apapun yang saya lakukan, selalu dicibir dan dicemooh. Mungkin kalo pinjam istilah jaman now, saya mengalami yang namanya bully-ing.

Lalu saya berkernyit. Bingung. Saya ngeluhnya apa, yang Tuhan suruh bereskan apa. Tapi saya manut ajalah. Masalahnya saya bingung, gimana mau doa spesifiknya, saya udah lupa nama teman-teman SD/SMP yang nge-bully saya dulu. Diluar dugaan, respon Cie Yenita begini: “Apa respon papa mamamu waktu tahu kamu di-bully?” Aduuuuh, tambah pusing saya. Kenapa justru bawa-bawa papa mama saya?

Semua yang terjadi dalam konseling pertama ini seperti teka-teki bagi saya, saya seperti disuruh mengumpulkan puzzle informasi supaya tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi pada saya. Tapi saya belajar sabar mendengarkan satu persatu info itu dan mencoba menatanya pelan-pelan.

Okelah, saya coba jawab pertanyaan Cie Yenita. Saya bilang, mereka gak respon apa-apa, wong saya enggak cerita. Saya simpan sendiri masalah ini. Lalu Cie Yenita tanya lagi: “Kenapa kamu gak cerita? Bagaimana hubunganmu dengan papa mamamu? Perlu diingat, kejadian itu terjadi waktu kamu masih SD lho.. Dan naluri anak SD itu, kalo mengalami bullying pasti ngadu ke papanya. Kenapa kamu enggak?”

Saya seperti tersadar. Iya ya, kenapa sejak kecil saya sudah gak pernah mau berbagi ke papa mama? Ternyata alasannya karena papa saya galak, kalo saya salah pasti dipukul. Sepertinya itu memang didikan orang jaman dulu deh: anak salah pasti dipukul tanpa ba bi bu. Karena saya masih SD, belum bisa membedakan benar atau salah, makanya saya menganggap kalo saya di-bully itu artinya saya yang salah. Mana berani saya cerita ke papa, saya takut dipukul. Saya juga gak mau cerita ke mama, karena mama tu sukanya nyalah-nyalahin saya. Kalo saya ngadu ke mama, paling cuma dikatain: “Salahnya koq kamu begini begitu, pantesan kamu di-bully.

Dari jawaban saya ini, saya jadi sadar. Masalah terbesar saya bukan kasus bullying, makanya bukan teman-teman itu yang harus saya bereskan. Masalah terbesar saya adalah tidak adanya rasa aman dalam keluarga. Dan itulah yang harus saya bereskan. Waktu doa pemberesan, kami minta Tuhan memunculkan perasaan saya waktu itu, ketika saya tidak mendapat rasa aman dari ortu.

Waktu Tuhan memunculkan kembali perasaan itu, hati saya nyesek. Saya enggak marah, tapi sediiiiih sekali. Punya papa mama, tapi seperti gak punya papa mama. Dan saya nangis histeris cukup lama. Andai enggak jaim, rasanya udah pengin berguling-guling di lantai. Cie Yenita membiarkan saya mengekspresikan kesedihan saya, sampai saya merasa lega dan enggak pengin nangis lagi.

Setelah lega, saya baru bisa berpikir jernih. Saya tahu, sekalipun saya sedih dengan apa yang terjadi, saya tidak bisa marah kepada papa mama saya. Mereka bahkan tidak tahu bagaimana menjadi orangtua yang baik. Tidak ada pendidikan parenting di jaman itu. Mereka cuma meniru bagaimana cara papa mama mereka mendidik mereka waktu itu. Saya malah kasihan, berarti dulu papa mama pun mengalami hal yang sama dan mungkin mereka juga mengalami luka yang sama dengan saya. Tapi mereka enggak seberuntung saya mengenal pemulihan.

Dengan pemikiran seperti itu, tiba-tiba saja luka saya untuk kejadian itu hilang sudah. Dengan mudah saya menganggap itu selesai, malah saya doakan mama saya, semoga suatu saat mama boleh dipulihkan seperti saya. Sehingga hari tua mama tidak lagi diisi dengan luka. Saya tidak doakan papa demikian, karena papa sudah meninggal tahun 1999. Selesailah konseling saya hari itu.

Bagaimana dengan uneg-uneg yang saya ungkapkan di awal tadi? Kata Cie Yenita, akan kami bahas di konseling berikutnya.

Sebelum berpamitan, saya bertanya kenapa saat konseling tadi Cie Yenita tanya tentang relasi saya dengan papa mama saya padahal katanya gak tahu apa-apa? Jawabnya, simpel aja, karena faktanya:

Kepada siapa pun kita terluka, sebenarnya akar masalah kita itu “ujung-ujungnya di rumah”, dari relasi kita dengan orang tua kita.

Ini membuat saya belajar satu hal penting lagi, peran ortu itu jauuuuuh lebih kompleks dari sekedar memberi makan atau memastikan kesehatan atau membelikan mainan atau menyekolahkan anak.

Setelah mengikuti sharing Aprilia yang panjang tadi, menurut saya kesimpulannya adalah bahwa obat kantor itu ada di rumah 🙂