Skip to content

Temu Inklusi 2018: Dari Media Komunitas Hingga Barista Inklusif

Inklusi itu apa sih? Jujur, pertanyaan itu sudah lama ada di benak saya, tapi saya tidak pernah berusaha mencari jawabannya. Biasalah, mungkin karena saya merasa belum butuh-butuh banget hehehe.. Hingga akhirnya saya mendapat kesempatan untuk mengikuti acara Temu Inklusi 2018 di Plembutan Playen Gunungkidul pada hari Rabu 24 Oktober 2018 atas undangan dari tim Program Peduli.

Acara tersebut sebenarnya pada hari kerja tetapi saya niatkan untuk ambil cuti kerja sehari. Kenapa? Karena saya tertarik dengan kegiatan yang fokus pada para difabel ini. Sebagai seorang difabel, saya merasa bahwa ini momen penting yang sayang kalo saya lewatkan. Meskipun pada saat baca infonya saya belum bisa membayangkan ada kegiatan semacam apa disana. Yang penting berangkat!

Hari Rabu 24 Oktober 2018 antara jam 6-7 pagi, saya dan beberapa teman blogger berangkat bersama-sama menuju Plembutan Playen Gunungkidul. Alhamdulillah perjalanan lancar dan kami tiba di tempat tepat waktu.

Program Peduli adalah sebuah prakarsa Pemerintah Indonesia yang dirancang untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok yang paling terpinggirkan di Indonesia, yang kurang mendapat layanan pemerintah dan program perlindungan sosial. Enam kelompok sasaran tersebut adalah (1) Anak dan remaja rentan, (2) Masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam, (3) Korban diskriminasi, intoleransi, dan kekerasan berbasis agama, (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak asasi manusia dan restorasi sosial, dan (6) Waria.

Ya, Program Peduli memang peduli pada inklusi sosial. Inklusi sosial adalah upaya menempatkan martabat dan kemandirian individu sebagai modal utama untuk mencapai kualitas hidup yang ideal. Melalui inklusi sosial, Program Peduli mendorong agar seluruh elemen masyarakat mendapat perlakuan yang setara dan memperoleh kesempatan yang sama sebagai warga negara, terlepas dari perbedaan apapun.

Acara Temu Inklusi 2018 kali ini difokuskan kepada orang dengan disabilitas. Acaranya sendiri diinisiasi oleh SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel) Indonesia. Acara Temu Inklusi ini merupakan wadah terbuka yang mempertemukan berbagai pihak pegiat inklusi difabel, atau bisa diartikan juga sebagai ajang pertemuan difabel tingkat nasional, baik secara individu, dari organisasi maupun para pemerhati isu difabel.

Temu Inklusi 2018 ini diselenggarakan di desa Plembutan Playen Gunungkidul yang merupakan salah satu desa inklusi yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Apa sih desa inklusi itu?

Desa Inklusi dapat dimaknai sebagai; (1) Desa yang mampu menerima keberagaman secara positif; (2) Desa yang mampu memberikan layanan dan ruang yang aksesibel untuk semua orang; (3) Desa yang memberikan ruang gerak, berkembang dan berpartisipasi aktif sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan keragaman dan keberbedaan; (4) Desa yang mendorong masyarakatnya untuk positif dan berkontribusi dalam pembangunan sesuai dengan kemampuanya berdasarkan keragaman yang ada ada; (5) Desa tempat dimana semua orang tanpa terkecuali merasakan keamanan, kenyamanan dan perlindungan yang sama.

Tema dari Temu Inklusi 2018 ini adalah “Menuju Indonesia Inklusif 2030 Melalui Inovasi Kolaboratif”. Nah untuk memudahkan pencarian informasi, kita bisa menggunakan hashtag #IDInklusif. Dan hashtag ini sendiri ada artinya lhooo, yaitu bahwa #IDInklusif adalah sebuah gerakan sosial untuk merangkul warga negara Indonesia yang mengalami stigma dan marjinalisasi, dengan mengajak masyarakat luas untuk bertindak inklusif dalam kehidupan sehari-hari.

Acara Temu Inklusi 2018 ini diselenggarakan selama 4 hari, mulai dari tanggal 22 Oktober 2018 hingga 25 Oktober 2018. Melihat agenda acaranya pun tampaknya lumayan padat. Yang menarik adalah lokakarya tematik yang diselenggarakan secara paralel, total ada 11 tema. Peserta Temu Inklusi bisa memilih mengikuti lokakarya tematik yang mana sesuai dengan kebutuhannya. Saya bersama beberapa teman blogger kemarin mendapatkan jatah mengikuti lokakarya tematik “Media dan Difabilitas” yang diselenggarakan di dusun Papringan, tidak jauh dari pusat acara Temu Inklusi 2018.

Yap, cocok deh! Menarik buat saya berbicara tentang media komunitas khususnya untuk kaum difabel. Dari tema lokakarya tadi, judulnya difokuskan pada “Media Komunitas sebagai Alat Advokasi Difabel”. Narasumber lokakarya tematik ini adalah Ken Kerta (Kertaning Tyas) dari Komunitas Lingkar Sosial Indonesia dan Tommy Apriando dari AJII (Aliansi Jurnalis Independen Indonesia).

Narasumber, kika: Tommy Apriando, Kertaning Tyas, Tim SIGAB

Pembicara pertama, Kertaning Tyas dari Komunitas Lingkar Sosial Indonesia berbagi cerita mengenai pengalamannya mengelola media komunitas untuk difabel di Malang Jawa Timur. Lingkar Sosial Indonesia (Linksos) merupakan organisasi yang fokus pada persoalan disabilitas. Berkedudukan di kabupaten Malang, Jawa Timur, dengan wilayah kerja di seluruh Indonesia. Didirikan pada tahun 2014 untuk membantu masyarakat marginal dan yang mengalami disfungsi sosial.

Pengalaman Ken membentuk media komunitas adalah dimulai pertama kali di Sumatera Selatan. Berkat media komunitasnya, ia berhasil membuat pemerintah turun tangan. Ken Kerta mendirikan media komunitas karena: (1) kurangnya pemahaman wartawan tentang difabel, dan (2) untuk mengadvokasi kaum difabel. Dampak dari dibentuknya media komunitas: (1) berhasil menghimpun lintas komunitas, dan (2) terbentuknya Forum Malang Inklusi yang beranggotakan 25 komunitas.

Masih menurut Ken Kerta, bahwa media komunitas itu penting, yaitu untuk: (1) menyuarakan apa yang menjadi visi dan misi suatu komunitas,  dan (2) mempengaruhi masyarakat agar bergerak bersama. Tentu saja hal ini akan: (1) memberikan dampak menekan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan, serta (2) menjadi berita tandingan untuk meluruskan situasi yang sebenarnya dan mengedukasi sesama jurnalis.

Lalu bagaimana cara membuat media komunitas? Media komunitas bisa dibentuk dengan berbagai macam cara, misalnya membuat blog (gratisan atau berbayar), menggunakan akun social media (Facebook, Twitter, dll). Ken Kerta sendiri menggunakan blog dan social media (Facebook, Twitter, Instagram, YouTube) sebagai media komunitasnya.

Pembicara kedua, Tommy Apriando dari Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJII) memaparkan tentang media mainstream yang sangat kurang dalam mengekspos berita yang berpihak kepada kaum minoritas (difabel). Sebagaimana kita semua sudah tahu bahwa di media-media mainstream sangat jarang diekspos tentang hal-hal yang melibatkan difabel. Karena memang media mainstream tentunya memikirkan nilai jual dari sebuah berita. Sehingga tidak banyak jurnalis yang mau berpihak kepada kaum minoritas. Bahkan untuk sekedar memahami apa sih disabilitas itu pun mungkin tidak masuk ke dalam benak para jurnalis media mainstream.

Dalam kesempatan ini Tommy Apriando juga memaparkan tentang hal-hal yang dilakukan oleh para jurnalis agar paham terhadap isu-isu disabilitas serta penyajian informasinya tidak menyesatkan pembaca, yaitu antara lain: (1) melakukan riset (ada banyak metode), (2) melakukan wawancara, (3) menggali informasi untuk memenuhi rasa ingin tahu publik, (4) harus sopan, tidak sok pintar, tidak sok tahu, dan menguasai bahan, dan (5) sensitif terhadap korban disabilitas.

Menurut Tommy Apriando, media komunitas itu sangat penting. Ketika melakukan riset, Tommy jarang menemukan data dan informasi tentang disabilitas di media-media mainstream, ia justru mendapatkannya di media-media komunitas yang berupa blog atau website. Masih menurut Tommy, bahwa media komunitas ini bisa meningkatkan perekonomian dengan menghadirkan bisnis baru. Misalnya: (1) membentuk koperasi, (2) mengajak pihak lain untuk memasang iklan di blog/web media komunitas. Dalam kesempatan ini Tommy juga berpesan agar kita bijak dalam menggunakan social media, antara lain gunakan media sosial untuk kampanye isu difabel.

Suasana diskusi tematik.

Setelah pemaparan dari dua narasumber tersebut, lokakarya tematik “Media dan Difabilitas” diakhiri dengan diskusi. Peserta lokakarya dibagi menjadi dua kelompok diskusi. Adapun materi yang didiskusikan sama, meliputi 4 masalah, yaitu:
1. Masalah apa yang hendak dijawab dari diskusi tematik ini?
2. Inovasi/kolaborasi seperti apa yang sedang dilakukan (oleh media komunitas)?
3. Apa yang dibayangkan untuk dilakukan ke depan dan bagaimana caranya?
4. Apa yang dapat direkomendasikan dari diskusi tematik ini?
Semua jawaban dituliskan ke dalam selembar kertas ukuran A2, hasilnya dikumpulkan oleh panitia untuk dijadikan rekomendasi.

Setelah selesai acara lokakarya, dilanjutkan istirahat makan siang. Alhamdulillah hari itu dapat jatah makan siang dobel hehehe.. Selain sudah disediakan makan siang oleh Tim Program Peduli, ternyata kami juga dapat jatah makan siang dari panitia Temu Inklusi 2018.

Kegiatan utama Temu Inklusi 2018 diadakan di area lapangan desa Plembutan dengan mendirikan tenda yang lumayan besar. Setelah acara makan siang, ternyata ada acara Seminar Nasional “Membumikan SDGs Sampai ke Desa”. Pengin sih mengikuti tetapi kami sudah punya jadwal lain. Sekedar informasi saja bahwa SDG adalah kependekan dari Sustainable Development Goal (tujuan pembangunan berkelanjutan).

Nahhh.. di luar tenda, di sekeliling lapangan dibuka banyak booth. Salah satu booth yang menarik perhatian saya adalah booth Barista Inklusif. Hayooo.. penasaran ‘kan, apa itu Barista Inklusif?

Barista Inklusif adalah tim Stara Coffee (IG: @staracoffee) dampingan salah satu mitra Program Peduli yaitu YAKKUM (IG: @pryakkum, FB: Pusat Rehabilitasi YAKKUM). Hashtag yang biasa dipakai adalah #BaristaInklusif dan #KarenaKopiKitaSetara.

Saya terkesan dengan tulisan yang tercantum di banner mereka sebagai berikut: “Kopi yang nikmat itu tidak hanya ditentukan oleh kualitas biji kopi dan cara menyeduhnya. Nikmat rasa dan aroma kopi akan lebih terasa ketika kita tahu bagaimana perjalanan kopi sejak dari kebun hingga ke cangkir, dan pesan dibaliknya.”

Eko Barista Inklusif sedang in action.

Nah, bagi saya saat itu kopi terasa nikmat karena saya melihat sendiri teman-teman difabel yang menerima pesanan, meracik kopi, menyeduh, hingga menyajikannya kepada pengunjung. Sebelum memesan kopi saya sempat dibisikin oleh mba Wida dari Program Peduli: “Itu yang namanya Eko dari YAKKUM, dia Barista Inklusif yang sering jadi artis, tampil dimana-mana :)” Ya, Eko ini difabel yang tidak memiliki tangan, tetapi dengan kedua lengannya dia bisa menjadi Barista. Ada 2 lagi kalau tidak salah yang difabel juga, yang satu sebagai kasir dan yang satunya lagi juga sebagai barista.

Terimakasih, teman-teman Barista Inklusif, berkat es kopi susu yang kalian sajikan lenyaplah dahaga saya setelah berpanas-panas ria 🙂

Dari perjalanan mengikuti acara lokakarya tematik diatas hingga menikmati kopi, akhirnya saya bisa menyimpulkan bahwa salah satu praktik baik untuk mendorong kesetaraan dan inklusi sosial adalah memperbaiki kehidupan penyandang disabilitas melalui media komunitas (jurnalisme warga). Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa teman-teman dengan disabilitas akan bergerak aktif sendiri setelah diberi ruang/fasilitas. Ruang/fasilitas itu bisa berupa: (1) bantu mereka meningkatkan kepercayaan diri dengan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan, (2) beri pelatihan-pelatihan misalnya belajar menulis yang baik, belajar Android, belajar ngeblog, belajar jurnalistik, belajar bahasa asing, dan lain-lain, (3) bangun sarana dan prasarana di sekitar mereka agar lebih leluasa dalam bergerak, (4) beri kesempatan mereka untuk bisa menggunakan jasa lembaga keuangan formal, (5) dan lain sebagainya. Sesimpel Eko dan kawan-kawan yang mendapatkan pelatihan barista, akhirnya bisa berkreasi dan mandiri.

Salam inklusi!! Indonesia Inklusif 2030!

Referensi:
1. https://programpeduli.org/
2. https://sekolahdesa.or.id/
3. https://www.lingkarsosial.org/

9 thoughts on “Temu Inklusi 2018: Dari Media Komunitas Hingga Barista Inklusif”

  1. Yulia Octaviana Wibisono

    Wow keren ya Barista Inklusif – nya. Kagum saya ternyata di tengah kekurangan mereka juga bisa bikin kopi yang enak.

Leave a Reply to Wiwin Pratiwanggini Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *