Beberapa hari ini di social media dan dimana-mana sedang ramai pembicaraan tentang pendaftaran sekolah baru, yaitu SD, SMP dan SMA. Jujur saja, saya kurang mengikuti perkembangan informasi tentang ini karena sejak SD hingga SMK ini anak saya bersekolah di sekolah swasta terus. Nah, satu hal yang menarik bagi saya adalah tentang sistem zonasi atau zoning.
Saya pribadi bersekolah di SD Negeri, SMP Negeri dan SMA Negeri. Hanya saja saya tidak beruntung kuliah di Perguruan Tinggi Negeri hehehe.. Gapapa, jalan hidup saya langsung kerja koq, baru kemudian saya bisa kuliah sendiri dengan biaya sendiri di perguruan tinggi swasta.
Koq mulus bisa sekolah di negeri terus? Kebetulan tempat tinggal saya meskipun terpencil di lereng Gunung Merapi, dulu belum setenar sekarang sebagai Desa Wisata Pentingsari, namun dekat dengan SD Negeri, SMP Negeri dan SMA Negeri.
Perjalanan ke SD Negeri dan SMP Negeri bisa dilalui dengan berjalan kaki saja. Tapi ya harus berhati-hati karena keduanya menyeberangi sungai. Waktu bersekolah di SD Negeri sih sungainya lumayan tidak terlalu deras arusnya. Kami masih berani melompat di atas batu-batu sungai. Namun sungai yang saya lewati menuju ke SMP Negeri ini lumayan deras arusnya. Bersyukur warga masyarakat berswadaya membuat jembatan dari bambu sehingga memudahkan kami untuk melaluinya.
Sebenarnya dulu juga sudah ada SD dan SMP favorit yang terletak di Kecamatan Pakem, tetapi orang tua saya memilihkan saya bersekolah di sekolah-sekolah yang dekat dengan rumah. Tentu saja dengan pertimbangan bisa dilalui dengan berjalan kaki, tidak perlu antar jemput, dan tentunya tidak perlu naik kendaraan umum. Lumayan ngirit ongkos hehehe..
Waktu SD saya berangkat sekolah langsung dari rumah orang tua, karena memang dekat. Hanya perlu menyeberangi sungai yang tidak terlalu deras arusnya tadi. Baru deh ketika masuk SMP, saya tinggal di rumah family (Budhe – kakaknya Bapak) yang hanya berjarak setengah kilometer dari SMP. Sebenarnya NEM SD saya memberikan peluang besar untuk bisa masuk ke SMP favorit di kecamatan Pakem tadi. Tapi orang tua saya tidak mengijinkan, mengingat kondisi fisik saya (abis operasi kaki dimana kaki masih digips dan menggunakan kruk), sehingga tidak ingin menyulitkan saya dan merepotkan orang lain.
Nah, setelah lulus SMP Negeri, mau tidak mau saya harus bersekolah di SMA Negeri yang ada kota kecamatan. Karena memang hanya itu satu-satunya SMA Negeri yang paling dekat dengan tempat tinggal saya. Oiya saya masih tinggal di rumah family (hingga lulus SMA).
Saya yang berasal dari dusun ini mungkin dulu terlalu lugu ya, sehingga tidak mengenal yang namanya berkompetisi untuk mendapatkan sekolah negeri favorit. Meskipun secara NEM saya berpeluang besar masuk ke sekolah negeri favorit namun orang tua tidak mengijinkan, toh saya menerima saja, enggak protes sama sekali hehehe…
Tapi saya punya kebanggaan tersendiri bersekolah di dekat tempat tinggal. Satu, enggak capek karena dekat. Dua, enggak butuh keluar ongkos transportasi. Tiga, enggak butuh uang jajan. Empat, tidak merepotkan orang lain dengan antar jemput. Apalagi ketika itu Bapak saya bekerja di luar pulau, sedangkan ibu saya harus mengasuh 4 orang anaknya.
Kebanggaan lain (kelima) adalah alhamdulillah dulu saya cukup punya prestasi. Nah, prestasi ini tentu saja turut andil mengharumkan nama sekolah. Selain selalu menjadi juara umum dan mempersembahkan NEM tertinggi di SD dan SMP, salah satu prestasi saya adalah juara lomba mengarang tingkat kabupaten Sleman waktu kelas 4 SD. Ini nih cikal bakal saya cinta banget dengan dunia menulis ๐
Ada satu hal mendasar yang saya dapatkan ketika bersekolah di sekolah-sekolah negeri dekat rumah tersebut yaitu bahwa secara langsung kami dididik menjadi anak-anak yang rajin dan mandiri. Sejak SD hingga SMA, setiap hari ada giliran piket. Waktu SD lebih parah lagi, karena ada tugas membersihkan kamar mandi dan WC hahahaha… Sampai-sampai saya dan teman dekat saya suka saling curhat, bilang gini:”Kalo sekolah di kota, yang bersih-bersih tu tukang kebun lho, kita hanya belajar belajar dan belajar.”
Oiya, waktu di SMP, kakak-kakak sepupu dimana saya tinggal bersekolahnya di SMP favorit. Ada juga yang ikut bimbingan belajar di luar sekolah waktu SMP dan SMA. Hal positif yang saya dapatkan dari mereka adalah saya bisa memakai soal-soal latihan dan buku-buku pelajaran dari mereka. Saya gunakan itu untuk belajar. Kalau jaman sekarang, bisa terbantu dengan adanya internet. Ada banyak sarana belajar di internet. Bersyukurlah.
Jadi, menurut saya pribadi, karena adanya fenomena sekolah favorit sedangkan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan seringkali (atau selalu) berubah-ubah maka alangkah baiknya mengantisipasi sejak dini. Artinya, membangun mindset orang tua dan anak bahwa sekolah favorit itu bukan harga mati bagi yang mampu memiliki nilai akademis tinggi.
Kalo sistem pendidikan stabil dari jaman dulu hingga seterusnya sih gapapa ya, tapi ketika sistem pendidikan masih berubah-ubah, ya kita sebagai warga negara yang kudu mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang terjadi. Karena toh kritik dan usulan dari warga negara tidak serta merta mengubah kebijakan pemerintah.
Menurut saya, jika anak-anak memiliki nilai akademis tinggi namun akhirnya diterima di sekolah dekat rumah yang notabene tidak favorit, please terima dengan lapang dada dan jadilah favorit di sekolah tersebut. Tetap ukirlah prestasi disitu, insyaallah sebagai siswa zonasi akan memiliki andil menjadikan sekolah tersebut favorit juga di masa yang akan datang.
Maaf yaaa.. ini sekedar pengalaman emak-emak yang pernah bersekolah di sekolah negeri dekat rumah, yang identik dengan sistem zonasi.
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.