Anakku belum bisa bicara di usia 2 tahunan, galaukah aku? Sebagai seorang ibu dari anak berusia 27 bulan, rasa itu ada. Tapi saya berusaha menyimpannya dalam-dalam. Kenapa? Saya percaya bahwa akan tiba saatnya anak saya bisa berbicara dengan lancar. Yang penting selama ini saya tidak pernah lelah mengajaknya berbicara, bermain bersama, membaca buku bersama, menyebutkan nama benda, menjelaskan apa benda tersebut, dan lain sebagainya.
Meskipun demikian saya tetap membuka diri untuk mendapatkan masukan dari mana-mana. Bahkan waktu mengikuti workshop sidik jari belajar, saya juga mendapatkan tips untuk mengatasi anak yang terlambat bicara. Tips tersebut saya dapatkan dari Pak Tunggul, beliau bilang bahwa mudah koq untuk mengatasi anak yang speech delay. Yaitu cukup ajak anak bermain keluar rumah. Dia akan bertemu banyak teman, dari situ dia akan termotivasi.
Dibawah ini adalah video terbaru anak saya yang secara motorik kasar dia memang luar biasa, tetapi kosa katanya belum banyak.
Dari membaca buku juga ada nih… Kebetulan saya punya satu buku yang pernah saya beli 17 tahun yang lalu, jamannya anak pertama dulu. Judulnya adalah Q&A Smart Parents for Healthy Children yang ditulis oleh dr. Purnamawati S. Pujiarto, SpAKA, MMPed. Buku ini juga merupakan bagian dari Seri Kesehatan Anak INTISARI. Alhamdulillah isinya masih relevan dan bermanfaat hingga hari ini. Di dalam buku tersebut di halaman 511-515 membahas tentang anak belum bisa bicara. Nah, daripada hanya saya yang mendapatkan ilmunya, sekalian saja saya share disini ya, siapa tahu bisa memberikan pencerahan bagi yang membutuhkan 🙂
Daftar Isi:
Anakku Belum Bisa Bicara
Pertanyaan yang dilontarkan di dalam buku tersebut adalah sebagai berikut: “Putraku (21 bulan) belum bisa bicara. Kenapa ya? Baru “mamah”, “papah”, dan kalau mau sesuatu paling tunjuk-tunjuk sambil bilang “uhh..uhh” atau “mamah… mamah”. Padahal aku, suamiku, dan kakakku yang momong dia sehari-hari, lumayan cerewet mengajak dia bicara. Apakah putraku terlambat bicara? Kalau diajak bicara atau diperintah sesuatu dia mengerti dan melakukan apa yang diperintahkan. Perlukah anakku ikut terapi?”
Pertanyaan tersebut kemudian disambut dengan sharing balik dari beberapa parents. Ada yang pernah memasukkan anaknya terapi bicara dengan psikolog namun ternyata tidak efektif, karena anaknya justru menjadi trauma dan takut pada guru. Ada juga saat usia 26 bulan keatas cerewetnya ampun-ampunan, kosa katanya bertambah dengan pesat. Ada juga yang anaknya baru verbal di usia 4 tahun.
Selain sharing balik, beberapa parents tersebut juga memberikan tips yang saya rangkum sebagai berikut:
- Kumpulkan anak atau dekatkan anak dengan komunitas seumur anak tersebut. Atau bawa anak main keluar rumah biar banyak teman. Lama-lama dia akan tertarik untuk mengucapkan hal yang sama dengan yang diucapkan temannya. Setiap anak ‘kan memang berbeda kemampuannya. Yang penting, ketika diajak bicara, dia fokus dengan lawan bicara.
- Coba deh seperti main pingpong, ‘percakapan’ kita gulirkan. Kita ‘merespons’ ucapan dia, walau dia cuma mengucapkan satu suku kata saja. Jangan kita bicara dalam kalimat-kalimat panjang lalu berharap dia membalas. Yang penting dia tahu bahwa kata-kata dia (yang di telinga kita terdengar hanya sebagai “kan” atau “en-en” itu) bermakna buat yang mendengar dan dia mendapat respons atas kata-kata itu.
- Mengajarkan anak berkomunikasi tidak semata menunjukkan padanya cara bicara, tapi juga cara menunggu jawaban. Bergiliran ini kemampuan komunikasi yang dia akan butuhkan dalam hidup.
O iya, ada sedikit informasi yang perlu dicatat bahwa kemampuan berbahasa pada balita dikatakan sangat terlambat bila:
- Bayi tidak mau tersenyum sosial sampai 10 minggu.
- Bayi tidak mengeluarkan suara sebagai jawaban pada usia 3 bulan.
- Tidak ada perhatian terhadap sekitar sampai usia 8 bulan.
- Tidak bicara sampai usia 15 bulan; tidak mengucapkan 3-4 kata sampai usia 20 bulan.
Ini sumbernya dari artikel berjudul “Tanda Peringatan pada Perkembangan Anak Gagap dan Ragam Gangguan Bicara”. Alhamdulillah anak saya tidak mengalami salah satu atau lebih dari keempat ciri tersebut diatas.

Cover depan buku “Q&A Smart Parents for Happy Children”. (foto dok. pribadi)
Penjelasan Dokter
Di bagian akhir, 3 (tiga) orang dokter memberikan jawaban dan penjelasan atas pertanyaan tadi. Supaya tidak terlalu panjang, saya tulis ulang saja jawaban dari dokter Purnamawati. Sedangkan jawaban dari dokter lain, bisa dibaca di dalam buku tersebut (bagi yang punya hehehe…).
Dokter Wati menjelaskan bahwa anak laki-laki kemampuan verbalnya bisa lebih lambat ketimbang anak perempuan. Mereka lebih maju di perkembangan motorik terutama motorik kasar. Periode emas perkembangan bicara adalah usia 2-3 tahun. pada usia 18 bulan anak seharusnya bisa mengucapkan 4-20 kata, dapat mengerti perintah yang sedikit lebih kompleks seperti “Tolong ambil mainan itu!”, “Bawa gelasmu kesini!”. Si kecil juga sudah dapat mengenal benda-benda yang kita sebut dan menunjuknya, serta sudah dapat mengenal bagian tubuh, orang, serta benda yang familiar. Di lain pihak, setiap anak adalah individu yang unik, masing-masing memiliki kecepatan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri. Jangan membandingkan terlalu kaku antara satu anak dengan anak lainnya. Kalau si anak responsif, memahami instruksi, orang tua tidak perlu cemas.
Menurut dokter Wati, penyebab keterlambatan bicara juga dapat karena gangguan pendengaran, elective mutism (anak memilih untuk tidak bicara), gangguan perkembangan, autis, atau memang kurang stimulasi. Kalau ada benda jatuh dan anak bergeming, curigai adanya gangguan pendengaran. Bila juga ada keterlambatan perkembangan lainnya misalnya motoriknya terlambat atau usia 2 tahun masih belum bicara sama sekali, diskusikan dengan dokter meski belum tentu ada kelainan.
Di bagian akhir, dokter Wati berpesan agar orang tua melakukan stimulasi bicara dimana orang tua bicara, bernyanyi, menari-nari, menonton bersama sambil bercerita pada anak, membaca dongeng dari buku bergambar, mengajak anak menirukan gerakan dan suara, dan seterusnya. Ciptakan suasana yang menyenangkan, terus ajak anak bicara, jangan bosan-bosan. Jangan pernah marah bila anak tidak berhasil, berilah pujian seberapa pun kemajuan si kecil. Oh ya, jangan gunakan bahasa bayi saat berbicara dengan anak (misal “tutu” untuk “susu”, “atit” untuk “sakit”). Terakhir, jangan beri berbagai stimulasi pada satu saat bersamaan, jangan terlalu banyak, mblenger. Belajar bisa dengan cara apa saja, kapan saja, dan dimana saja. Jangan tegang, be fun, be creative!
Setelah membaca sharing dari beberapa parents serta penjelasan dokter Wati, saya semakin tenang menghadapi kondisi anak saya yang belum banyak kosa katanya di usia 27 bulan sekarang ini. No galau-galau anymore 🙂