Skip to content

Gaung Kusta di Udara, Menyuarakan Kusta Melalui Jaringan Radio

Gaung Kusta di Udara, Menyuarakan Kusta Melalui Jaringan Radio – Masih lekat dalam ingatan saya semboyan Radio Republik Indonesia yaitu “Sekali di Udara Tetap di Udara”. Iya, waktu masih sekolah dulu saya sering mendengarkan radio, baik itu RRI maupun radio-radio swasta niaga lainnya. Tergantung sedang pengin mendengarkan acara apa. Apakah pengin mendengarkan berita, apakah pengin mendengarkan sandiwara radio (jaman saya masih sekolah banyak sekali sandiwara radio yang keren-keren), juga apakah pengin menyimak talkshow (saya suka mengikuti kalau saya tertarik dengan materi yang dibahas).

Lalu perlahan-lahan sarana untuk mendapatkan informasi dan hiburan bergeser ke televisi. Selanjutnya bergeser lagi ke penggunaan internet. Apalagi semua bisa dinikmati hanya dari genggaman (baca: gawai) saja. Ada radio (tapi musti memasang headset), ada streaming radio, ada streaming televisi, juga ada jagat maya internet. Tinggal pilih sesuai keinginan, situasi, dan kondisi. Semua itu juga untuk memenuhi kebutuhan manusia, dimana ada yang suka mendengar, ada juga yang suka menonton.

Sejak 2-3 bulan terakhir ini saya seperti dibawa kembali memijak bumi. Maksudnya gimana tuh? Maksudnya adalah saya diingatkan kembali untuk tidak lupa dengan menyimak radio untuk mendapatkan berita-berita baik. Salah satunya adalah radio jaringan KBR. Lagipula stasiun radio satu ini sudah makin canggih saja. Mereka menggabungkan beberapa platform untuk bisa memberikan sajian yang menarik bagi pendengarnya. Zoom meeting, YouTube, juga podcast. Ya, jaringan radio ini sudah lama banget ada, namun tetap eksis hingga hair ini.

Gaung Kusta di Udara, Menyuarakan Kusta Melalui Radio

Sebagaimana kita ketahui bahwa perkembangan informasi menjadi semakin cepat di era digital. Untuk mengimbangi hal tersebut, sudah selayaknya masyarakat memiliki tingkat literasi informasi yang semakin baik pula, termasuk literasi kesehatan.

Hoaks kesehatan yang sering beredar salah satunya adalah tentang penyakit kusta. Kusta disebut sebagai penyakit kutukan, tidak bisa disembuhkan dan perlu dijauhkan. Orang yang terdiagnosa kusta maupun penyandang disabilitas akibat kusta seringkali mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat karena disinformasi yang beredar. Untuk itu NLR Indonesia bekerja sama dengan KBR untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi dan pengetahuan tentang kusta dan disabilitas.

Hari Senin 13 September 2021 yang lalu saya mengikuti live streaming melalui Youtube channel Berita KBR yang mengangkat tema “Gaung Kusta di Udara”. Program Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia ini direlay oleh 100 Radio Jaringan KBR dan 104.2 MSTri FM Jakarta. Tema ini diambil karena bertepatan dengan peringatan Hari Radio Nasional yang diperingati setiap tanggal 11 September.

gaung kusta di udara
Talkshow “Gaung Kusta di Udara”

Acara ini dipandu oleh penyiar Rizal Wijaya dengan menghadirkan 2 (dua) orang narasumber, yaitu:

  1. dr. Febrina SugiantoJunior Technical Advisor NLR IndonesiaNLR Indonesia adalah sebuah yayasan yang dibentuk pada tahun 2018 untuk melanjutkan pencapaian pemberantasan kusta yang telah dilakukan NLR sejak 1975. Yayasan NLR Indonesia bermitra dengan sejumlah organisasi yang menangani penyandang disabilitas, organisasi masyarakat sipil, institusi pendidikan, serta pemerintah lokal, kementrian, dan lembaga pemerintah.
  2. MalikaManager Program & Podcast KBR. KBR (Kantor Berita Radio) adalah penyedia konten berita berbasis jurnalisme independen yang berdiri sejak 1999. Dengan dukungan reporter dan kontributor terbaik di berbagai kota di tanah air dan Asia, produk KBR telah digunakan lebih dari 500 radio di Nusantara dan 200 radio di Asia dan Australia. Berita-berita KBR juga bisa disimak lewat website KBR.id, juga di media sosial di Instagram, Facebook dan Twitter.

Dalam talkshow kali ini ada beberapa hal penting yang dibicarakan. Berikut ini saya share satu per satu.

Melawan Hoaks dan Stigma tentang Kusta

Kondisi kusta di Indonesia saat ini

Saya mengutip paparan dokter Febrina mengenai kondisi kusta di Indonesia saat ini. Tahun 2020 jumlahnya turun menjadi 16700 kasus. Tentu saja ini menurun dibandingkan dengan tahun 2019 yang jumlahnya 17439 kasus. Penurunan ini bisa menjadi kabar baik sekaligus juga kabar buruk.

Dikatakan menjadi kabar baik, artinya usaha untuk tujuan eliminasi kusta itu sudah tercapai. Dikatakan menjadi kabar buruk, justru karena skrinning yang tidak bisa dilakukan secara rutin karena ada restriksi sejak adanya pandemi Covid-19.

Di Indonesia sebanyak 26 provinsi sudah mengalami eliminasi kusta. Masih ada 8 provinsi lagi yang belum yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Selain itu juga terdapat 113 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di 22 provinsi di Indonesia. Proporsi kasus anak masih relatif tinggi, di tahun 2019 ada 11% dan di tahun 2020 ada 10%.

Faktor penyebab sehingga belum semuanya tereliminasi, masih menurut penjelasan dokter Febrina, adalah karena Indonesia terdiri dari 17 ribu kepulauan dengan kondisi sosiogeografis yang berbeda-beda. Untuk mencapai ke semua kantong-kantong kusta itu membutuhkan usaha yang besar. Selain itu, mungkin saja saat ini kasus yang masih banyak itu disebabkan aksesibilitas yang kurang dan stigma. Orang-orang yang sudah terdiagnosis tidak mau menjalani pengobatan atau malah dikucilkan.

dr Febrina Sugianto
dr. Febrina Sugianto, Junior Technical Advisor NLR Indonesia

Hoaks yang beredar dan dampaknya bagi penderita kusta

Selain stigma yang harus dihadapi oleh penderita kusta, hoaks tentang kusta juga masih banyak beredar. Di lapangan, dokter Febrina menemukan hoaks sebagai berikut:

  1. Kusta adalah kutukan akibat dosa yang dilakukan di masa lalu
  2. Kusta menular melalui sentuhan
  3. Kusta karena higienitas buruk atau kurang menjaga kebersihan
  4. Kusta tidak bisa disembuhkan

Hoaks yang beredar tersebu tentu saja memberikan efek yang sangat buruk bagi penderita kusta. Efek-efek tersebut antara lain:

  1. Karena meyakini kutukan, mereka tidak mencari solusi atau jalan keluar. Malah mereka cenderung timbul rasa malu untuk keluar mencari pertolongan. Akibatnya kasusnya tidak terdeteksi.
  2. Sebuah komunitas mengucilkan penderita kusta atau OYPMK karena berpikir bahwa itu akan membawa bad luck atau kesialan bagi komunitasnya. Kalau ada orang kusta tidak mau dekat-dekat, tidak mau berada di ruangan yang sama.
  3. Dibilang kusta tidak bisa disembuhkan. Ini adalah hoaks atau mitos yang fatal. Hal ini menyebabkan putus asa. Tidak mau berusaha untuk mendapatkan pengobatan. Merasa bahwa minum obat itu menjadi percuma.

Orang dengan kusta itu perlu ditemukan dan perlu pengobatan. Pengobatan untuk kusta bukan pengobatan yang pendek dan butuh banyak dukungan. Apabila orang bersentuhan atau berada di ruangan yang sama saja tidak mau mendukung, bagaimana mereka bisa mendapatkan dukungan untuk menjalani pengobatannya.

Upaya NLR Indonesia meningkatkan pemahaman

Dokter Febrina menjelaskan bahwa NLR mempunyai 3 main program, yaitu:

  1. zero transmission (menghentikan transmisi)
  2. zero disability (mencegah terjadinya kecacatan)
  3. zero exclusion (menurunkan stigma)

Program-program tersebut orientasinya lebih kepada awareness atau meningkatkan pemahaman masyarakat. Program yang paling diunggulkan adalah awareness racing program melalui SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta). Target proyek ini adalah Generasi X dan Baby boomer. Kelompok ini diharapkan memahami isu kusta dan ikut menyosialisasikan kegiatan pengurangan stigma dan diskriminasi melalui platform media yang mereka gandrungi.

NLR Indonesia juga menyasar kelompok lain seperti para mahasiswa dari ilmu kesehatan dan sektor swasta. Minat mahasiswa ilmu kesehatan terhadap penyakit kusta dan upaya pengendaliannya dirasakan semakin kurang  sehingga perlu upaya sistematis menjaring para mahasiswa untuk tertarik menekuni penyakit yang terabaikan ini. Di sektor swasta, NLR Indonesia ingin mendorong kebijakan inklusif bagi para penyandang disabilitas akibat kusta agar dapat mengakses pekerjaan.

Peran KBR dalam Menggaungkan Isu Kusta dan Disabilitas

Radio sebagai corong untuk meningkatkan pemahaman masyarakat

Kelompok marjinal adalah mereka yang mengalami hambatan struktural maupun kultural dalam pemenuhan hak-hak kenegaraannya karena kelas ekonomi, identitas, sosial, politik, gender, usia, hingga perbedaan kemampuan fisik dan mental.

“Dalam situasi seperti ini media bisa mengambil peran untuk membantu terwujudnya pemenuhan hak-hak tadi bukan sebaliknya yaitu melegitimasi dan memicu tindakan diskriminasi terhadap mereka,” demikian dikemukakan oleh Malika dari KBR.

Untuk itu, KBR berkolaborasi dengan NLR Indonesia dalam rangka meningkatkan literasi masyarakat terkait kusta.

KBR sama seperti media lainnya yang berfungsi untuk membentuk opini masyarakat. Melalui representasi media, isu dari kelompok marjinal bisa dipelajari secara sosial. Media bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik.

Representasi yang minim membuat masyarakat dan kebijakan publik mengabaikan keberadaan atau aspirasi kelompok-kelompok marjinal dan disabilitas. Representasi yang keliru bisa mereduksi keberadaan atau aspirasi kelompok-kelompok marjinal. Hal ini bisa berujung pada eksklusi sosial, juga diskriminasi. Contohnya ketidakpahaman masyarakat terhadap penyakit kusta bisa membuat penderita dikucilkan.

Banyak dari kita yang tidak tahu bahwa Indonesia ternyata negara peringkat ketiga dengan kasus kusta terbesar di seluruh dunia. Berkat NLR kita jadi tahu bahwa ini bukan penyakit menular yang penularannya mudah. Justru penyebab masih merajalelanya kusta adalah karena terlambat penanganan, minimnya pengetahuan masyarakat tentang gejalanya, tingginya stigma, serta diskriminasi terhadap kusta atau OYPMK.

Nah, lewat kolaborasi dengan NLR ini KBR turut menyuarakan bahwa kusta bisa disembuhkan. Jangan sampai terlambat diobati, juga jangan dikucilkan, karena dampaknya bisa fatal.

Malika KBR
Malika, Manager Program & Podcast KBR

Strategi konten

Dijelaskan oleh Malika bahwa KBR banyak berdiskusi dengan NLR bagaimana membawa isu ini ke dalam podcast mengenai batasan-batasan dan bagaimana caranya tidak melukai pihak-pihak lain. Jadi dibahas tentang hoaksnya, juga tentang situasi terkini. Briefing juga dilakukan terhadap penyiarnya. Tentu saja dilakukan juga riset terlebih dahulu sebelum membuat TOR. Lalu dicek lagi dengan NLR apakah sudah oke atau belum.

Fokus konten dalam podcast adalah memberikan pemahaman, serta untuk mendorong bahwa orang kusta bisa mandiri. Sebisa mungkin berada dalam koridor yang benar, jangan sampai yang niatnya meruntuhkan stigma malah justru menguatkan.

KBR dengan Ruang Publik yang disiarkan secara live juga dinaikkan ke dalam bentuk podcast di Ruang Publik di kbrprime.id. Pendengar bisa search di Spotify untuk mendengarkan podcast lainnya. Podcast yang merupakan kerja sama antara KBR dengan NLR adalah podcast SUKA (Suara untuk Indonesia Bebas Kusta). Kerja sama dengan NLR ini, selain disiarkan di podcast SUKA, juga disiarkan melalui podcast Ruang Publik.

Tujuan atau goal

Goalnya adalah masyarakat memiliki pemahaman yang lebih tentang isu-isu yang diangkat. Dengan pemahaman yang baik bisa mencegah orang untuk berperilaku atau bersikap diskriminatif. Lebih jauh lagi, dengan perbincangan akan menghadirkan wacana yang akan menghadirkan lebih banyak lagi kebijakan yang inklusif, yang mengakomodasi berbagai perbedaan kebutuhan.

Juga penerapan proyek-proyek offline untuk SUKA, antara lain menggerakkan banyak sekali blogger, jurnalis, mahasiswa dari ilmu kesehatan. Setidaknya di 13 provinsi endemik untuk mengaktifkan kampanye isu ini agar lebih banyak dibincangkan, sehingga orang lebih banyak memberikan perhatian di situ. Dengan demikian diharapkan stigma turun terus dan diskriminasi tidak ada lagi.

Penutup

Seiring perkembangan teknologi, radio tradisional kini telah bertransformasi menjadi radio podcast. Jaringan radio KBR salah satunya. Radio podcast berisi program siaran yang dapat diunduh kapan saja dengan mudah. Dengan begitu, kita tidak harus mengikuti jadwal siaran seperti radio tradisional dan internet, kita tetap bisa mendengarkan program siaran tanpa real-time.

Oleh karena itu, sangat tepat bila NLR Indonesia menggandeng KBR untuk menepis hoaks dan isu-isu negatif seputar kusta dan disabilitas dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kusta melalui radio. Pun KBR cerdas dengan strategi konten yang tidak biasa-biasa saja.

Sebagai penutup, dokter Febrina Sugianto dari NLR Indonesia menyampaikan harapan agar media-media lain juga lebih banyak berpihak kepada isu-isu marjinal dengan menyampaikan pesan yang positif, membangun, dan mengedukasi, bukan melihat dari kacamata belas kasihan.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *