Lompat ke konten
Home » Kisahku » Dua Perempuan Dalam Kenangan

Dua Perempuan Dalam Kenangan

  • oleh
dua perempuan dalam kenangan

Dua Perempuan Dalam Kenangan – Usia 12 tahun, yaitu saat memasuki bangku SMP, aku hijrah. Aku tidak lagi tinggal bersama kedua orang tuaku. Istilah jawanya, aku ‘ngenger’. Aku tinggal dengan salah satu keluarga bapakku. Sejak itu aku memiliki pengganti ibuku. Segala hal tentang keputrian bukan ibuku yang mengurusiku tetapi Budhe.

Budhe sendiri yang memintaku untuk tinggal bersamanya. Satu, karena sekolahku dekat dengan rumah Budhe. Dua, supaya aku tidak perlu naik turun jurang dalam perjalanan pulang dan pergi sekolah. Tiga, saat mulai masuk SMP kaki kiriku digips, sehingga tidak mungkin menempuh perjalanan yang susah.

Selama tinggal dengan Budhe, seingatku tidak banyak hal yang budhe nasehatkan kepadaku. Budhe hanya menasehatiku dengan hal-hal sederhana dalam kehidupan keseharianku saja. Seperti misalnya mengingatkanku supaya mencuci sendiri pakaian dalamku saat aku sedang datang bulan, mengingatkanku untuk selalu pamit dan cium tangan saat mau berangkat sekolah atau pergi kemana-mana, mengingatkanku untuk sarapan dulu sebelum berangkat sekolah.

Jika dipikir dengan logika, masa-masa tinggal dengan Budhe adalah masa yang sangat berat untuk anak seusiaku. Tetapi aku bersyukur, justru masa-masa tinggal disana itulah yang membuat aku menjadi perempuan disiplin dan mandiri. Salah satunya karena aturan kedisiplinan yang diterapkan oleh Pakdhe. Yaitu aku tidak boleh tidur sebelum jam 9 malam dan harus bangun tidur sebelum azan Subuh.

Tentu saja peraturan ini berbeda sekali dengan yang pernah aku jalani saat masih tinggal bersama ibuku. Aku bersyukur langsung bisa beradaptasi dengan peraturan yang diterapkan pakdhe dan kemudian itu menjadi kebiasaanku.

Setelah salat Subuh biasanya aku menyapu halaman rumah yang cukup luas kemudian aku lanjutkan dengan bantu-bantu di dapur. Setelah itu baru aku mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Sebelum jam 9 malam aku maksimalkan waktu untuk belajar pelajaran sekolah. Baik itu mengulang pelajaran, latihan mengerjakan soal-soal, maupun mengerjakan tugas-tugas dari sekolah.

Kedisiplinan yang diterapkan Pakdhe lumayan berat untuk anak seusiaku, namun kelak kemudian hari hal tersebut membentukku menjadi seorang perempuan yang disiplin dan bisa menghargai waktu. Sekali lagi aku bersyukur pernah ‘ngenger’ di rumah Budhe.

Beberapa waktu yang lalu seorang teman kerjaku bertanya: “Mba, sebaiknya ibuku bagaimana ya? Apakah aku titipkan ke panti jompo? Atau aku rawat sendiri dengan konsekuensi aku harus membagi perhatianku dengan suamiku?”

Aku menjawab: “Saranku, rawatlah sendiri ibumu. Jangan dititipkan di panti jompo.”

Aku menjawab dan memberi saran demikian karena pengalamanku bertahun-tahun merawat Budhe. Ya, pada saat masih hidup Budhe lebih banyak istirahat di rumah sakit daripada di rumahnya sendiri. Satu hal yang aku tahu bahwa Budhe memiliki gangguan pernapasan. Tetapi tidak jarang saat penyakit tersebut kambuh, dibarengi pula dengan keluhan-keluhan yang lain.

Pada saat Budhe terbaring sakit, setiap hari aku harus menjaga Budhe. Jika dirawat di rumah sakit, maka aku mendapat tugas jaga siang hari. Sedangkan jika dirawat di rumah, sepanjang hari aku harus siap sedia menjaga Budhe. Bahkan tidak jarang aku mengerjakan tugas-tugas sekolah sambil memijit kaki Budhe.

Lama-lama aku menjadi terlatih merawat orang sakit. Mulai dari menyediakan minuman dan makanan hingga menyuapinya, bisa aku lakukan. Bahkan untuk membersihkan badan dan pakaiannya setelah Budhe buang air kecil atau buang air besar pun aku bisa.

Apakah aku pernah mengeluh? Aku tidak ingat. Yang jelas, hari ini aku tidak pernah merasa capek pernah merawat Budhe. Seberat apa pun yang pernah aku alami pada saat itu, tapi rasa indah yang terkenang di hatiku sekarang. Aku percaya bahwa Allah Maha Adil. Allah pasti memberikan ganjaran atas pengabdianku kepada Budhe.

Setelah mendapatkan pekerjaan, aku tidak lagi tinggal bersama Budhe. Aku diijinkan untuk indekos supaya dekat dengan tempat kerja. Dengan demikian aku tidak pernah lagi menemani hari-hari Budhe, terutama saat-saat Budhe terbaring sakit. Hanya seminggu sekali aku pulang menengok Budhe sekeluarga.

Hingga pada suatu malam aku mendapatkan telepon dari ibu. Ibu memberitahuku bahwa budhe baru saja meninggal dunia. Tanpa pikir panjang, aku menelepon taksi untuk mengantarku pulang. Sampai di rumah, tubuhku terasa lunglai. Di sisi jenazah Budhe aku hanya bisa diam dan menangis. Aku sedih tidak berada di samping Budhe menjelang beliau meninggal.

Kini Budhe sudah tenang. Budhe tidak lagi merasakan sakit. O iya, sesekali Budhe hadir ke dalam mimpiku. Meskipun tak ada percakapan di antara kami, tapi aku bahagia karena Budhe hadir menengokku.

Selain Budhe, dalam hidupku ada satu lagi perempuan luar biasa yang menjadi panutanku. Beliau adalah ibu mertuaku yang biasa aku panggil “Nenek”. Nenek adalah seorang single parent dari lima orang anak laki-laki. Suaminya meninggal dunia sejak anak-anaknya masih kecil. Saat itu suamiku yang anak bungsu masih berusia 3 (tiga) tahun.

Nenek pernah menikah lagi kemudian membawanya pindah ke tanah Biak. Namun pernikahan ini tidak berlangsung lama, akhirnya Nenek dan suaminya bercerai. Selanjutnya Nenek menetap di Biak bersama kelima anaknya hingga kelak semua tumbuh dewasa dan bisa hidup mandiri. Bahkan anak keduanya yang sudah meninggal terlebih dulu juga dikuburkan di sana.

Asli Jawa yang kemudian tinggal di Biak sebagai single parent dengan lima anak laki-laki tentunya bukan hal yang mudah bagi beliau. Namun, Allah SWT selalu memberikan cobaan sesuai dengan kemampuan hambaNYA. Nenek mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah rumah sakit. Selain itu beliau juga memiliki keterampilan membuat aneka jenis makanan yang bisa dijual.

Ditempa oleh kerasnya kehidupan, membuat Nenek menjadi perempuan yang kuat secara lahir maupun batin. Beliau sangat gigih dalam memperjuangkan kehidupannya dan kelima anaknya. Beliau tidak pernah mengeluh. Aku banyak belajar darinya.

Hingga pada suatu hari, ada pesan lewat SMS yang isinya: “Dek, Nenek meninggal.” Demikian isi SMS yang aku terima dari kakak ipar tertua pada 13 September 2017 pagi Subuh. Padahal malam sebelumnya kakak ipar baru saja ngobrol dengan suamiku memberitahukan bahwa Nenek tidak mau minum dan mulai dipasang oksigen.

Ingatanku melayang ke tiga setengah bulan sebelumnya, tepatnya 30 Mei 2017 saat beliau pulang ke Biak setelah sekian lama tinggal di Yogyakarta. Dulu memang Nenek pernah bilang kalau ingin menetap di Jawa saja. Tapi entah mengapa tiba-tiba bulan puasa itu beliau memaksa untuk kembali ke Biak. Ya sudah, aku belikan tiket Sriwijaya untuk pulang ke Biak.

Sebelum kembali ke Biak, sempat 2 kali Nenek dirawat di rumah sakit. Pertama, dirawat karena kecelakaan, yaitu ditabrak motor di depan rumah. Kedua, dirawat karena penyakit gula dan tekanan darah tinggi. Kembali ke Biak, aku tidak tahu apa kegiatan Nenek. Kalo dulu masih suka bikin-bikin makanan kecil untuk dijual, tapi 3,5 bulan terakhir setahuku tidak melakukan kegiatan apa-apa, jadi benar-benar istirahat.

Lalu kami mendapat kabar dari kakak ipar di sana bahwa Nenek opname di rumah sakit. Informasinya adalah gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, dan ada sedikit masalah dengan ginjalnya. Kami para menantu yang ada di Jogja dan Bekasi hanya bisa kirim doa sambil memantau perkembangan nenek. Dan akhirnya Rabu pagi itu kami menerima berita meninggalnya Nenek.

Ada sebersit penyesalan di hatiku yaitu mengapa saat Nenek masih di Yogyakarta aku tidak mengabarkan tentang kehamilan anak keduaku. Tadinya aku sengaja menutupinya dari Nenek karena aku tidak ingin membebani pikiran Nenek. Aku ingin Nenek bebas merdeka ke sana kemari menikmati hari tuanya. Aku akan memberitahukannya setelah si cucu lahir.

Sebersit penyesalan itu terkadang memunculkan pikiran andai aku tidak menyembunyikan kehamilanku dari Nenek, mungkin Nenek tidak jadi pulang ke Biak, mungkin Nenek masih diberi umur panjang, mungkin Nenek masih diberi kesempatan momong cucu keenamnya.

Astaghfirullah… aku tidak boleh berpikiran seperti itu. Aku harus ikhlas dan menyadari bahwa ini semua sudah takdirNYA. Ya memang beginilah jalan ceritanya, beginilah skenarionya.

“Selamat jalan, Nenek, semoga diampuni segala khilaf dan dosa Nenek di dunia, dilapangkan kubur Nenek, dan Nenek mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah SWT,” doaku selalu untuk Nenek. Terima kasih telah menjadi panutanku sehingga aku menjadi perempuan yang tegar dan mandiri dalam situasi seperti apa pun.

Nenek, aku akan selalu ingat pesanmu: “Anakku adalah pilihanmu. Baik buruknya itu sudah menjadi pilihanmu. Maka rawatlah.”

Dua perempuan itu kini bersemayam dalam kenangan. Budhe, perempuan yang tegar tetapi lembut. Nenek, perempuan yang tegar dan keras. Aku sangat bersyukur karena pernah menjadi bagian dalam hidup mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa jalan hidupku pun melalui mereka. Mereka dua perempuan panutanku hingga aku menjadi seperti sekarang ini.

Yogyakarta, 15 Oktober 2020

(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Dalam Kenangan”, dengan judul “Dua Perempuan Dalam Kenangan”, diterbitkan oleh Wonderland Publisher, edisi Februari 2021)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *