Cinta Membawa Anakku Pulang – Kisah cinta seorang ibu kepada keluarganya yang diwarnai dengan deraian air mata. Penuh perjuangan mempersatukan dan menjaga hati si anak dan ayahnya.
Kabur dari Rumah
Masih terbayang dalam ingatanku, pagi itu awal tahun 2019, Bayu anak sulungku, pamit berangkat latihan olahraga beladiri seperti biasanya. Ia mencium tanganku sambil pamitan dengan tambahan kalimat, “Bu, nanti aku langsung pulang ke rumah nenek. Dan aku tidak kembali kesini lagi.”
Agak siangan suami mengajakku dan Bhuwana, adiknya Bayu, untuk makan bakso di warung langganan. Jika ada satu anggota keluarga yang tidak ikut, suamiku selalu ingat untuk membawakannya pulang. Saat itu, sambil makan bakso suamiku berkata, ”Tanyain Bayu, dia mau dibungkusin apa, bakso atau mie ayam?”
Ada duka dan galau dalam hatiku. Bagaimana aku musti menjawab pertanyaan suamiku sedangkan aku tahu bahwa Bayu tidak akan pulang ke rumah. Namun demikian, demi menjaga situasi dan kondisi, akhirnya aku memutuskan untuk membungkus bakso dan mie ayam untuk dibawa pulang. Meskipun Bayu sudah pamit demikian, namun aku masih berharap bahwa Bayu akan berubah pikiran. Sesekali aku mengirim pesan melalui WhatsApp untuk mencoba membujuk Bayu.
Hingga waktu Dzuhur tiba, ternyata Bayu tidak juga pulang ke rumah. Ayahnya menanyakan terus. Akhirnya dengan hati hancur aku sampaikan bahwa Bayu tidak akan pulang ke rumah, Bayu pulang ke rumah neneknya. Ayahnya tentu saja marah besar.
Sebenarnya apa sih yang terjadi? Apa yang melatarbelakangi hal ini bisa terjadi sehingga Bayu kabur dari rumah?
Tak Sejalan
Kalau diceritakan, mungkin akan menjadi kisah yang panjang karena harus menengok kembali masa-masa Bayu masih kecil. Intinya adalah bahwa Bayu merasa bukan anak kecil lagi yang musti didikte dan diatur-atur. Dia ingin diberikan ruang untuk menunjukkan kemandirian dan tanggung jawabnya. Nah, tampaknya dalam hal ini aku sebagai ibunya berbenturan dengan cara ayahnya dalam mendidik anak.
Aku adalah ibu yang tahu banget bagaimana sifat Bayu. Aku merasa bahwa Bayu adalah fotokopiku. Sehingga aku tahu bagaimana memperlakukannya. Tetapi ayahnya biasa dididik secara keras. Dulu ayahnya pernah menjadi anak kolong. Secara tidak disadari pendidikan dalam rumah yang diterimanya dulu ada yang diterapkannya kepada anaknya. Bahkan anak salah sedikit saja langsung kena pukul. Padahal anak jaman sekarang yang notabene anak Gen Z tidak bisa diperlakukan demikian.
Aku selalu berusaha menjadi pendengar yang baik untuk anakku. Aku berusaha menjadi sahabat bagi anakku. Agar anakku tetap nyaman berada di rumah. Agar curhat apapun hanya kepada kedua orang tuanya. Tetapi sayang, ayahnya selalu menjadi pengatur atas apapun yang dilakukan anak kami. Rupanya anakku mulai memberontak, dia tidak terima diperlakukan demikian. Untungnya anakku memilih untuk diam daripada melawan ayahnya. Karena ia tahu, jika ia melawan ayahnya, hal yang buruk akan terjadi.
Dalam kondisi seperti itu, aku tidak bisa berbuat banyak. Di satu sisi, aku harus menjaga dan menyelamatkan anakku. Tapi di sisi lain aku tidak boleh membantah suami. Sungguh, rasanya berat sekali beban hidupku saat itu. Yang bisa aku lakukan hanyalah pasrah kepada Allah SWT. Dalam setiap nafasku aku berdoa agar Allah SWT memberiku kekuatan dalam melewati ujian dan cobaannya. Aku berdoa agar Allah SWT menjaga anak-anakku. Aku berdoa agar Allah SWT meluluhkan kekerasan hati suamiku.
Ujian yang Menguatkan
Setengah tahun aku lalui nyaris tanpa senyuman manis di rumah. Sejujurnya aku lelah, hampir saja aku mengambil jalan pintas yaitu tinggal bertiga saja dengan anak-anakku. Tapi imanku masih mengingatkanku bahwa aku harus menyelesaikan apa yang pernah aku mulai. Aku dulu memilih lelaki itu menjadi suamiku, tentunya aku sudah siap dengan kekurangan dan kelebihannya. Akhirnya aku buang jauh-jauh pikiran buruk untuk mengambil jalan pintas tadi dan kulanjutkan menjalani kehidupanku.
Masih melekat dalam ingatan, hari itu Jumat 21 Juni 2019, aku harus menghadiri undangan penerimaan raport semester genap di sekolah menengah kejuruan tempat Bayu menimba ilmu. Seperti biasa, aku datang lebih awal supaya tidak kemrungsung. Aku juga sudah mempersiapkan mental jika benar hal terburuk itu terjadi.
Dengan tenang aku mengisi presensi dan duduk di barisan kursi paling depan. Dengan sabar aku menunggu giliran nama Bayu dipanggil. Saat tiba pada giliran nama Bayu, tidak banyak kata-kata yang disampaikan oleh Bapak Wali Kelas, kecuali satu kalimat: “Maaf ya, Bu, saya tidak bisa membantu…”. Bla bla bla bla… Aku sudah tahu dan sudah siap menerima ucapan itu. Aku sudah mempersiapkan diri sejak setengah tahun terakhir.
Mengapa aku bilang begitu? Karena sejak meninggalkan rumah hingga saat kenaikan kelas, Bayu banyak membolosnya. Aku bisa memahami perasaan Bayu selama satu semester itu. Karena itulah aku siap menerima apapun isi raport Bayu.
Setelah urusan selesai, aku balik ke kantor. Sampai di kantor aku baru membuka raport itu. Alhamdulillah, aku beriman kepada Allah, maka apapun yang tertera disitu pasti adalah yang terbaik untuk Bayu. Ya, raport diberikan dengan catatan ‘tinggal kelas’ itu artinya sama dengan si anak dikembalikan kepada orang tuanya.
Apakah ayahnya tahu? Tidak. Ayahnya tidak pernah tahu jika itu akan terjadi. Aku sengaja tidak mau membahas tentang Bayu dan sekolahnya daripada menambah beban pikiranku. Aku hanya cukup menjawab apa yang ditanyakan. Andai ayahnya tahu, disamping marah besar mungkin ia akan mencari bantuan untuk mengusahakan agar Bayu tetap bisa sekolah disana. Tapi aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin agar semua mendapat pelajaran dari peristiwa ini. Agar Bayu juga tahu konsekuensi dari membolos itu berat.
Setelah menerima raport, segera aku mencari informasi sekolah untuk Bayu. Alhamdulillah saat itu pendaftaran masuk SMA Negeri baru akan dibuka. Langsung aku memutuskan untuk mendaftarkan Bayu ke SMA Negeri. Ya, mengulang dari kelas X. Bersyukur, Bayu tidak keberatan dan tidak malu mengulang dari kelas X.
Sempat Bayu bertanya, ”Bu, nanti kalo aku ditanya teman-teman bagaimana?” Aku menjawab, ”Nak, orang tidak akan pernah bertanya macam-macam selama kita sendiri tidak memancing mereka untuk bertanya. Paham maksud ibu?” Alhamdulillah Bayu paham dan dia menjalani pendidikannya di SMA dengan baik hingga hari ini.
Memasuki semester I Bayu di bangku SMA, situasi dan kondisi sudah semakin membaik. Aku sudah tenang karena Bayu sudah mendapatkan sekolah yang tepat dan dekat dengan rumah neneknya. Iya, Bayu tetap tinggal disana. Jarak dari rumah ke sekolah hanya sekitar 2-3 km. Aku juga sudah mulai banyak senyum, kembali sering ngobrol dengan suami.
Cinta Membawa Anakku Pulang
Bagaimana aku bisa kembali bisa senyum dan ngobrol dengan suami? Sepertinya “kekompakanku” dengan Bayu berbuah meluluhkan kekerasan hati suamiku. Ya, aku selalu meminta Bayu untuk mendengarkan semua nasehatku. Aku selalu minta Bayu untuk mengikuti petunjukku.
Alhamdulillah pada perayaan tujuh belasan tahun lalu Bayu terpilih menjadi tim Paskibra. Ditambah lagi Bayu lolos Program Penelusuran Minat dan Bakat Istimewa untuk bidang seni beladiri. Kelak dia bisa mendapatkan uang pembinaan dari kegiatan tersebut yang membuatnya bangga karena bisa mempunyi uang dari jerih payahnya. Selain itu Bayu juga menjadi juara Harapan I Duta Kesehatan tingkat kabupaten. Prestasi yang tak pernah aku bayangkan, ternyata anakku pandai menulis artikel dan berani presentasi (berbicara di depan audiens)!
Prestasi-prestasi Bayu itu telah membuka mata dan meluluhkan kekerasan hati ayahnya. Setelah bersekolah di SMA negeri Bayu belum mau pulang ke rumah. Namun setiap akhir pekan ayahnya mengajakku dan Bhuwana untuk menginap di rumah neneknya anak-anak. Itu artinya sama dengan menjenguk Bayu.
Awal tahun ini kami menempati rumah baru. Meskipun pada awalnya suami tidak setuju untuk pindah rumah, tapi aku memaksanya. Aku ingin hijrah! Hijrah dari semua hal. Itu saja alasanku.
Kini di rumah baru yang mungil, kami memulai hidup baru. Meninggalkan semua kenangan lama di rumah sebelumnya. Kini setiap akhir pekan kami selalu bersama-sama. Gegoleran satu, gegoleran semua. Sekali-sekali kami makan bersama di tempat makan favorit. Tak lupa selalu ngobrol bareng antara suami, aku dan anak-anakku.
Rasanya tak akan lelah aku bersyukur kepada Allah SWT. Dia telah memberiku kekuatan untuk melewati semua cobaan dan ujian. Dia telah menyatukan kembali keluarga kecilku. Setiap ujian dan cobaan adalah bumbu untuk semakin mengeratkan tali cintaku kepada suami dan anak-anakku.
Cinta telah mengajarkanku untuk mengakhiri apa yang pernah aku mulai.
Cinta telah mengajarkanku untuk meluluhkan kekerasan hati dengan cara yang lembut.
Cinta telah membawa anakku pulang.
Yogyakarta, 28 Februari 2020
(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Pelangi Kehidupan”, dengan judul “Cinta Membawa Anakku Pulang”, diterbitkan oleh Joeragan Artikel & Makmood Publishing, edisi Juni 2020)
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.