Aku Berhak Bahagia – Aku tidak tahu berapa tahun jatahku hidup di dunia ini. Tanpa terasa bulan ini tepat tiga tahun menuju setengah abad aku menjalani kehidupan di dunia. Ternyata sudah lama juga ya? Kata orang bijak, empat puluh tahun itu sudah cukup jungkir balik dalam urusan dunia. Sekarang sudah waktunya menjadikan dunia sebagai jembatan menuju kehidupan akhirat yang terbaik.
Sejenak aku ambil jeda. Sepenuh hati aku bersyukur karena Gusti Allah memberiku umur panjang sehingga aku mengalami banyak hal sejak lahir hingga saat ini. Kemudian aku merenung dan bertanya kepada diriku sendiri: Apa saja yang sudah aku lakukan selama ini? Apakah aku sudah menjadi sebaik-baiknya umat yang bisa bermanfaat bagi orang lain? Apakah aku sudah merasakan kebahagiaan lahir dan batin?
***
Aku terlahir dari keluarga sangat sederhana yang tinggal di dusun terpencil di lereng Gunung Merapi. Aku terlahir normal, tidak ada yang lebih atau kurang dengan fisikku, tetapi virus polio merenggut kesempurnaan fisikku. Ya, kaki kiriku cacat sejak aku berusia 8 bulan, saat ibuku sedang senang-senangnya mengajariku berjalan. Tentu saja hal ini menjadi ujian bagi kedua orang tuaku.
Aku ingat betul, kedua orang tuaku mengupayakan kesembuhan kakiku dengan segala cara. Salah satu yang lekat dalam ingatanku adalah saat kakiku diterapi, istilah awamnya adalah disetrum. Konon itu untuk merangsang saraf-saraf kakiku. Entah berapa rupiah biaya yang sudah dikeluarkan oleh kedua orang tuaku. Nyatanya kakiku memang tidak bisa kembali normal.
Bahkan nenekku pun pernah membawaku ke tukang urut di Pasar Pakem pada hari-hari dimana si tukang urut tersebut buka praktek. Kakiku diurut dengan campuran rempah-rempah yang sudah dibuat boreh (semacam lulur). Kalau mengingat ini aku hanya bisa tersenyum, merasa lucu, tapi ya begitulah bentuk kasih sayang nenekku hingga mengupayakan kesembuhan kaki cucunya secara alternatif.
Sejak memasuki bangku Sekolah Dasar aku tidak lagi menjalani terapi atau pengobatan apapun. Aku tidak pernah tahu alasannya. Mungkin saja kedua orang tuaku sudah menerima dan pasrah dengan keadaan anak sulungnya. Toh aku tetap bisa berjalan meskipun pincang. Sudah menjadi hal biasa saat aku berjalan mengundang tatapan aneh dari mata orang-orang. Menerima perundungan bagiku sudah biasa. Awalnya aku sering menangis dan takut, tetapi lama-lama kuabaikan dan menjadi biasa.
Dengan berjalan tertatih-tatih, aku tetap memiliki semangat untuk belajar. Menyeberang sungai dengan melompat di antara bebatuan besar agar tidak terjatuh ke air pun sanggup aku jalani. Bahkan sambil menggendong tas berisi buku-buku pelajaran yang cukup berat bagi anak kecil seusiaku. Aku bersyukur sekali meskipun cacat aku bisa menjadi kebanggaan kedua orang tuaku karena di sekolah aku berprestasi. Aku selalu menduduki peringkat pertama dan menjadi murid kesayangan guru-guru serta teman-teman sekolah.
Salah satu potensi yang telah tergali sejak dini adalah kemampuanku di bidang menulis. Saat kelas IV Sekolah Dasar aku diikutkan lomba mengarang tingkat Kabupaten Sleman. Dulu menulisnya di atas kertas folio bergaris, menggunakan pensil, dan tulisannya harus menggunakan huruf tegak bersambung. Alhamdulillah aku menjadi pemenang kedua. Kelak potensi inilah yang menjadi cikal bakal aku mengembangkan diri menjadi blogger dan penulis buku.
Menjelang kelulusan SD, kaki kiriku mendapatkan penanganan khusus secara medis. Aku dibawa ke RS Orthopaedi di Surakarta oleh Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat Bethesda (sekarang Pusat Rehabilitasi YAKKUM). Disana aku opname selama satu bulan ditemani oleh bapak. Kaki kiriku dioperasi lalu digips selama beberapa minggu. Setelah gips dibuka, selanjutnya kakiku harus menggunakan alat bantu khusus yang namanya LL brace. Aku memakai alat bantu tersebut hingga hari ini yang tentu saja ukurannya menyesuaikan dengan perkembangan tubuhku.
(bersambung ke bagian 2)
Yogyakarta, 18 Juni 2021
(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Aku Berhak Bahagia”, dengan judul “Kujalani Hidup Atas Skenario-NYA”, diterbitkan oleh Arvita Media, edisi 21 September 2021)
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.