Lompat ke konten
Home » Kisahku » Aku Berhak Bahagia (bagian 2)

Aku Berhak Bahagia (bagian 2)

  • oleh
aku berhak bahagia

Aku Berhak Bahagia – Menyadari akan fisikku yang tidak normal, aku tidak berani memiliki cita-cita menjadi pegawai negeri. Padahal untuk generasiku, menjadi pegawai negeri adalah kebanggaan tersendiri. Lagipula pada masa itu orang cacat tidak mudah mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Namun aku tidak kaget karena ibu sudah memberitahuku sejak aku masih SD. Sehingga aku pun membuang jauh-jauh keinginan untuk menjadi pegawai negeri.

Lulus SMA aku tidak kuliah. Ibuku sudah mewanti-wanti bahwa aku hanya boleh kuliah jika aku diterima di perguruan tinggi negeri. Nyatanya aku tidak lolos UMPTN! Ikut ujian masuk Akademi Ilmu Statistik (sekarang namanya STIS) yang ikatan dinas itu aku juga tidak lolos. Lalu aku mengambil kursus bahasa Inggris, komputer, dan sedikit ilmu akuntansi. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam aku mempunyai cita-cita bekerja di perusahaan yang menerapkan komputer dan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Entah kenapa aku begitu yakin bakalan bisa menjadi pegawai swasta.

Bersyukur sekali di usiaku yang ke-19 tahun, cita-citaku terwujud. Melalui guru bahasa Inggrisku, Ibu Pamela dari Selandia Baru, aku mendapat kesempatan mengikuti job training pada sebuah perusahaan konsultan yang dipimpin oleh seorang ekspatriat Belanda. Pertama kali masuk ke kantor konsultan tersebut, mataku langsung berbinar-binar. “Wow, semua staf bekerja di depan komputernya masing-masing!” sorakku kegirangan di dalam hati. Di dalam kantor tersebut juga ada beberapa orang asing berwajah bule.

Disitulah pertama kali aku memasuki dunia kerja. Tanpa gelar sarjana atau sarjana muda karena aku lulus SMA tidak langsung kuliah. Aku hanya membekali diri dengan ketrampilan berbahasa Inggris dan komputer serta akuntansi dasar. Selain membantu mengetik laporan-laporan para tenaga ahli (lokal dan internasional), di kantor tersebut aku juga belajar banyak hal tentang administrasi perkantoran. Kelak di tahun kedua aku bekerja, aku bisa kuliah mengambil jurusan Manajemen Informatika. Biaya pendidikan 50% dari uangku sendiri dan 50% dibiayai oleh perusahaan tempatku bekerja.

Tahun demi tahun berlalu, posisiku pun merangkak naik. Dari yang hanya on the job training selama 5 bulan, kemudian aku diangkat menjadi staf administrasi dan keuangan. Hingga puncaknya aku menjadi sekretaris proyek sekaligus sekretaris langsung dari pimpinan (Pak Boss, kami menyebut ekspatriat Belanda tadi). Sampai saat menuliskan ini, aku masih menjadi tangan kanannya dalam urusan administrasi dan keuangan.

Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena dalam kondisi fisikku yang tidak normal ini aku diberi kepercayaan dan tanggung jawab yang besar. Itu artinya aku mampu berkarya, aku bisa bermanfaat bagi diriku sendiri, keluargaku, dan orang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289). Karena sesungguhnya ketika kita berbuat baik kepada orang lain, manfaatnya akan kembali kepada kita.

Sejauh ini sebisa mungkin aku memberikan yang terbaik yang bisa aku lakukan. Aku berusaha untuk tidak mengecewakan siapapun. Aku berusaha selalu siap jika dibutuhkan. Laporan-laporan pekerjaan selalu aku selesaikan tepat pada waktunya. Data dan arsip yang aku simpan selalu lengkap dan rapi. Jika ada instruksi-instruksi yang tidak jelas, terus terang aku minta dijelaskan lebih lanjut. Aku pun selalu siap menjadi teman diskusi sebagai bahan untuk pengambilan keputusan. Aku juga tidak keberatan jika terpaksa harus lembur atau dikontak sehubungan dengan pekerjaan pada jam-jam di luar jam kerja.

Selain itu, agar ada keseimbangan dalam hidupku, aku tetap mengerjakan hobiku di luar jam kerja. Aku tidak ingin hari-hariku hanya diisi dengan kesibukan kerja. Aku tetap harus menjadi diriku sendiri. Agar supaya aku tidak terbebani oleh pekerjaan dan terhindar dari stres. Di luar jam kerja aku menikmati menjadi ibu rumah tangga dengan semua kerempongannya. Aku juga menikmati hobiku dengan menjadi freelance blogger dan penulis buku. Dua hal itulah penyeimbang kesibukanku sebagai ibu bekerja penuh waktu.

Sekali lagi aku sangat bersyukur kepada Tuhan, karena meskipun aku seorang difabel aku bisa menjadi pegawai kantoran. Bahkan aku tidak keluar uang sepeserpun untuk bisa mendapatkan pekerjaan itu. Tuhanlah yang menghubungkan aku dengan Ibu Pamela dan koleganya (Mister Belanda) itu. Dalam kesulitanku, Tuhan memberiku kemudahan. Sungguh Dialah yang Maha Kuasa atas segalanya.

Dalam rangka perjalanan karierku, aku tidak berani memiliki keinginan yang muluk-muluk. Sebagai pegawai aku hanya berprinsip melakukan hal terbaik yang bisa aku lakukan. I do with my best. Itu saja. Aku pernah mendengar dari orang bijak bahwa pimpinan pasti memiliki seribu mata sehingga beliau tahu apakah pegawainya layak naik level atau tidak.

(bersambung ke bagian 3)

Yogyakarta, 18 Juni 2021

(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Aku Berhak Bahagia”, dengan judul “Kujalani Hidup Atas Skenario-NYA”, diterbitkan oleh Arvita Media, edisi 21 September 2021)