Lompat ke konten
Home » Kisahku » Aku Berhak Bahagia (bagian 3)

Aku Berhak Bahagia (bagian 3)

  • oleh
aku berhak bahagia

Aku Berhak Bahagia – Usia 27 tahun aku menikah. Aku mengarungi bahtera rumah tangga dengan pria yang menjadi pilihanku. Kami berdua menjalankan biduk rumah tangga mulai dari nol. Riak gelombang dan badai kami lalui bersama. Asam, pahit, asin dan manisnya kehidupan kami nikmati bersama.

Sejak awal menikah dulu kami berdua sepakat bahwa akulah yang bekerja di luar rumah. Kami berdua berbagi tugas dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Sebisa mungkin semua kami lakukan berdua. Bergantian. Saling melengkapi.

Aku menyadari bahwa budaya di lingkungan kami akan memandang aneh jika si perempuan yang justru bekerja di luar rumah. Tapi dari dulu kami adalah dua insan yang lebih banyak melawan arus, jadi ya sudahlah, kami jalani saja hidup kami sekarang tanpa perlu memikirkan apa kata orang.

Toh tidak jarang juga kami bersama-sama mengerjakan proyek kecil-kecilan dari rumah. Kami sama-sama tahu keahlian masing-masing. Sehingga kami saling mendukung. Kami juga saling memberi ruang untuk mengekspresikan potensi diri masing-masing. Syukur-syukur itu bisa mendatangkan rejeki bagi keluarga kami.

Beberapa kali juga kami berdua pernah diminta menjadi narasumber beberapa media cetak dan elektronik yang mengangkat berita tentang “Stay at Home Dad”. Rasanya senang sekali kala itu karena ternyata kami bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Hingga hari ini luar sana banyak yang memiliki status seperti kami namun tidak terekspos.

Hidup berumah tangga hingga 20 tahunan bukan berarti tidak ada riak-riak dalam menjalankan bahtera kami. Tidak hanya sekali dua kali kami tidak sejalan. Sedih? Tentu. Sabar? Harus.

Mengapa kami bisa tidak sejalan? Karena kami adalah dua insan dengan jalan pemikiran yang berbeda. Masih ditambah dengan latar belakang diriku yang sangat mandiri sejak masih gadis, sehingga segala sesuatu aku terbiasa memutuskan sendiri. Tidak berbeda dengan suamiku. Hanya saja kini suamiku adalah kepala keluarga di dalam bahtera rumah tangga kami.

Ketika datang saat-saat tak sejalan, aku berusaha untuk bersabar sekuat tenaga. Aku selalu ingat pesan almarhumah ibu mertua bahwa saat sudah menentukan pilihan, maka harus siap pula dengan konsekuensinya. Aku bersyukur keluargaku dan keluarga suamiku tidak pernah mencampuri urusan kami. Mereka hanya akan membantu jika kami memintanya.

Karena hakekatnya aku dan suami hidup bersama dalam satu ikatan pernikahan adalah untuk saling melengkapi, bukan untuk mengubah pribadi pasangan. Maka saat tak sejalan, aku tidak memintanya berubah. Saat ia meninggi, maka aku diam dan bersabar. Saat semua sudah tenang, barulah kami berdiskusi.

***

Aku resmi menjadi seorang ibu saat melahirkan anak pertama pada usiaku yang ke-28 dan anak kedua pada usiaku yang ke-43. Sejujurnya aku tidak pernah bermimpi memiliki dua anak laki-laki. Saat hamil anak pertama aku hanya pasrah pada Tuhan, diberi anak laki-laki atau perempuan sama saja, aku akan menerima. Begitu pun ketika 15 tahun kemudian aku hamil anak kedua, aku tidak meminta laki-laki atau perempuan.

Setelah pada akhirnya dua anakku adalah laki-laki semua, rasa syukurku makin bertambah. Karena yang aku tahu bahwa anak laki-laki akan menjaga ibunya selamanya. Berbeda dengan anak perempuan yang akan menjadi milik suaminya setelah menikah. Aku percaya dan yakin bahwa ini memang atas kuasaNYA maka Tuhan memberikan yang terbaik kepadaku. Aku adalah seorang ibu yang lemah secara fisik. Karena itu Tuhan mengaruniaiku dua anak laki-laki yang sehat dan kuat.

Kedua anakku mengawali kehidupannya di dunia dengan jalan yang sama yaitu melalui tindakan sectio caesarean namun dalam suasana yang sangat berbeda.

Anak pertamaku adalah anak mahal. Setelah terlahir, 18 jam kemudian ia harus dirawat di NICU. Yang aku tahu, ia lahir dalam kondisi BBLR (bayi dengan berat lahir rendah) dan belum cukup bulan. Jadi, saat aku masih dirawat di rumah bersalin untuk pemulihan, saat itu pula bayiku dirawat di dalam inkubator selama 2 minggu di rumah sakit lain. Kami berdua terpisah ruang, jarak dan waktu.

Aku bersyukur anak keduaku lahir cukup bulan dan tidak mengalami masalah apapun. Bahkan untuk biaya kelahirannya pun sepenuhnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Hanya satu yang aku sesali yaitu aku gagal memberikan ASI eksklusif. Aku hanya berhasil memberikan ASI selama dua bulan pertama. Setelah itu ASIku terus berkurang seiring dengan habisnya jatah cutiku.

Memiliki dua anak laki-laki ternyata bukan perkara mudah. Apalagi tidak ada sekolah untuk menjadi orang tua pula. Sehingga aku mengasuh mereka menggunakan insting atau naluri seorang ibu, didukung dengan ilmu-ilmu yang aku dapatkan dari luar.

Masa terberat dalam mengasuh anak laki-laki yang pernah aku alami adalah ketika anak pertamaku berusia remaja (kelas 1 SMK). Di usia tersebut ia sudah mulai ingin menunjukkan jati dirinya. Sementara itu si ayah masih menganggapnya sebagai anak-anak sehingga masih ada perlakuan yang mungkin kurang tepat untuk anak jaman sekarang. Pada masa itu aku harus menjadi seorang ibu dan istri yang bijak. Aku harus bisa ngemong anak tapi juga harus bisa mendukung sikap suami. Sungguh, berat bebanku ketika itu.

Kini masa-masa sulit tersebut sudah lewat. Sudah ada kedamaian lagi di keluargaku. Kini tugasku menjaga kedamaian tersebut, jangan sampai terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan.

Saat ini si kakak sudah duduk di bangku kelas XI. Aku selalu mengingatkannya untuk selalu takut kepada Tuhannya. Itu aku lakukan karena aku tidak bisa mengawasinya setiap waktu. Si kakak sudah masuk usia dewasa, sudah saatnya memiliki tanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Meskipun demikian, setiap hari aku berusaha selalu berkomunikasi untuk mengetahui perkembangan dan kegiatan-kegiatannya. Ibarat bermain layang-layang, aku menerapkan ilmu tarik ulur dalam mengasuh anak yang sudah tumbuh dewasa ini.

Si adik juga sudah makin pintar. Meskipun masih berusia 3 tahunan, tetapi sudah bisa diarahkan, sudah bisa diajak bekerjasama, bahkan tidak jarang ia selalu ingin ikut-ikutan membantu ibunya. Ia selalu menjadi penghiburku saat lelah dan letih sepulang kerja.

Aku menyadari bahwa aku tidak pernah bisa menjadi ibu yang sempurna. Tapi setidaknya aku mau belajar untuk mendekati sempurna. Aku akan sangat bersyukur saat berhasil mengantarkan kedua anak laki-lakiku menjadi pribadi super, bermanfaat bagi sesama, dan selalu takut akan Tuhannya.

(bersambung ke bagian 4)

Yogyakarta, 18 Juni 2021

(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Aku Berhak Bahagia”, dengan judul “Kujalani Hidup Atas Skenario-NYA”, diterbitkan oleh Arvita Media, edisi 21 September 2021)