Lompat ke konten
Home » Kisahku » Aku Berhak Bahagia (bagian 5 – tamat)

Aku Berhak Bahagia (bagian 5 – tamat)

  • oleh
aku berhak bahagia

Aku Berhak Bahagia – Aku merasakan ketenangan hidup saat berada di usia 40-an. Tepatnya setelah Allah SWT memberiku anak kedua. Sejak itu begitu banyak perubahan yang aku rasakan. Aku merasa jauh lebih baik, aku bisa menerima apapun skenario dalam kehidupan yang harus aku lakoni. Aku pun makin yakin bahwa kekuranganku adalah sumber kekuatanku.

Hingga usia 40-an aku telah melalui ujian dan cobaan yang tak terhitung. Lalu aku memutuskan untuk bisa memaafkan kesalahan diri sendiri, mengutamakan diri sendiri, mengenali kekuatan diri, melakukan hal-hal yang aku sukai, dan menjauh dari orang-orang yang memberi pengaruh buruk.

Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak lepas dari kesalahan. Misalnya: salah dalam mengelola keuangan sehingga punya hutang, salah dalam memilih teman dekat sehingga dimanfaatkan, dan lain sebagainya. Namun aku percaya bahwa aku mempunyai Tuhan yang Maha Pengampun. Dalam setiap doa, selain menyampaikan rasa syukur aku pun memohon pengampunan atas khilaf dan dosa yang telah aku lakukan. Tentu saja, kuniatkan untuk tidak mengulangi lagi kesalahan yang sama.

Aku pun pernah berada cukup lama dalam fase mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentinganku sendiri. Pernah juga saking ingin membantu teman, aku rela mencari pinjaman uang. Ujung-ujungnya aku sendiri yang kesusahan pada saat aku butuh uang. Kini aku tidak mau lagi menyusahkan diriku sendiri. Apalagi teringat saat minta bantuan orang lain, tak satu pun yang mau membantuku. Sejak itu aku tersadar bahwa hanya diriku sendirilah yang bisa mengatasi masalahku, bukan orang lain.

Aku juga memang memiliki kekurangan secara fisik. Aku adalah seorang difabel. Namun di balik itu, Tuhan memberiku kelebihan. Aku memiliki potensi yang layak diperhitungkan. Selama ini aku mampu sejajar dengan orang lain yang secara fisik memiliki kesempurnaan. Dengan mengenali kekuatan diri, aku selalu berani menerima tantangan. Bagiku, menerima tantangan berarti aku siap untuk belajar hal baru yang mana itu akan membawaku selangkah bahkan beberapa langkah lebih maju.

Sejak kecil aku memiliki hobi membaca dan menulis. Saat bertandang ke rumah saudara, yang aku cari adalah buku. Jika sudah menemukan buku, aku tidak akan pergi kemana-mana, aku akan betah berada disitu. Hal itu terbawa hingga hari ini. Aku merasa kering kerontang jika tidak ada buku sama sekali di sekelilingku.

Hobiku menulis tersalurkan lewat blog dan buku. Aku mengelola blog pribadi sejak tahun 2007 lalu kubelikan nama domain pada tahun 2008. Sudah ribuan tulisan aku publikasikan lewat blog tersebut. Sebagian dari tulisan-tulisan tersebut sudah menghasilkan uang. Melalui blog aku memiliki kebebasan berbagi dengan orang lain melalui tulisan. Tujuan utamaku memang menuliskan pengalaman-pengalamanku sendiri. Namun aku akan sangat puas jika tulisanku tersebut bisa bermanfaat bagi orang lain. Sampai hari ini ada banyak orang yang tercerahkan oleh tulisan-tulisanku di blog. Baik itu mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, maupun mendapatkan inspirasi berdasarkan pengalamanku.

Sampai saat aku menuliskan kisah ini, sudah ada 18 buku antologi yang aku terbitkan melalui beberapa penerbit indie. Masih ada beberapa buku lagi yang masih dalam proses layout menuju proses cetak. Sebagian besar bergenre kisah inspiratif karena lebih mudah bagiku menuliskan pengalaman hidup, lagipula aku belum pandai menulis fiksi. Selain itu, aku juga sedang membantu seorang praktisi psikologi yang akan menerbitkan buku solonya. Beliau ini mempercayakan aku sebagai editor calon bukunya.

Jika Tuhan mengizinkan, aku akan terus berada di jalur menulis. Aku tidak akan meninggalkan keduanya dan akan terus mengawal kolaborasi antara keduanya. Karena melalui blog dan buku aku merasa bahwa potensiku makin terasah.

Kesibukan sebagai ibu rumah tangga, ibu bekerja, blogger, dan penulis buku, serta mengelola komunitas, membuatku tak memiliki waktu lagi untuk sekedar ngerumpi-ngerumpi dengan orang lain. Selama jam kerja kantor, waktuku mengobrol dengan teman sejawat adalah pada saat istirahat untuk beribadah dan makan siang. Di rumah, aku hanya mengobrol dengan suamiku, aku tidak pernah ke luar rumah sendiri. Di dunia maya, aku tidak pernah chatting dengan orang lain hanya untuk ngobrol hal yang remeh-temeh. Jadi, handphone benar-benar aku pergunakan untuk hal-hal yang positif dan produktif.

Menulis buku, membuat konten blog, dan mengelola komunitas blogger membuatku selalu berpikir positif. Hal ini membuatku terhindari dari pengaruh buruk orang lain. Bahkan jika di media sosial ada teman yang curhat dengan menebarkan vibrasi negatif, aku tidak memberikan reaksi apapun (misalnya like, comment dan share). Aku memilih untuk menghindar. Ini lebih baik aku lakukan karena aku menyayangi diriku sendiri. Diriku tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal yang negatif.

***

Belum lama ini seorang kolega bertanya kepadaku dengan sangat berhati-hati, ”Mba ‘kan penghasilannya bisa dikatakan banyak, tetapi kenapa mba tetap setia dengan penampilan apa adanya? Saya menanyakan tentang hal ini karena mba berbeda dari teman-teman yang lain. Mba lihat sendiri ‘kan bahwa dalam situasi dan kondisi yang sama mereka lalu akan membeli kendaraan baru atau sering-sering beli baju baru, dan lain-lain. Tetapi mba tidak melakukan itu.”

Sejujurnya, aku pernah mengalami kegalauan mengapa aku tidak bisa memiliki apa-apa yang sifatnya duniawi, misalnya punya rumah sendiri, ganti motor yang baru, atau punya mobil, dan lain-lain. Aku pernah marah karena aku merasa bahwa aku menjadi tulang punggung padahal aku seharusnya hanyalah tulang rusuk. Aku juga pernah merasa gagal karena impian yang kukejar nyatanya justru makin jauh meninggalkanku.

Namun, jika aku menelisik ke masa-masa sebelumnya, yang muncul adalah rasa syukur. Aku justru bersyukur tidak seperti itu. Aku merasa bahwa Tuhan memberi aku rem dengan caraNYA. Ia hanya memperlihatkan apa-apa yang ada di dunia ini, tetapi tidak mengizinkan aku untuk melakukan hal yang sama.

Saat menyadari bahwa aku tidak memiliki harta benda duniawi, aku justru bersyukur. Karena aku tidak perlu repot-repot menjaganya. Toh, semua itu hanya titipan. Kedua anakku, yang terlahir dari rahimku sendiri, pun hanya titipan. Mereka bukan sepenuhnya milikku. Saat sudah tiba waktunya nanti, mereka adalah milik kehidupan. Aku hanya bisa memiliki seutuhnya sampai batas waktu tertentu. Bahkan sewaktu-waktu dipanggil kembali oleh Sang Pencipta, aku harus ikhlas seikhlas-ikhlasnya.

Oleh karena itu, setiap kali kusadari bahwa hidup di dunia hanya sementara dan bahwa semua yang ada di dunia ini hanya titipan, aku merasakan keikhlasan lahir dan batin atas semua perjalanan hidup yang aku lalui.

***

Aku percaya bahwa hidupku adalah skenarioNYA. Tinggal bagaimana aku menyikapi dan menjalani hidup ini. Tuhan memang selalu memberikan ujian terlebih dahulu untuk melatihku menyelesaikan soal-soal tersebut. Jika satu soal bisa aku selesaikan dengan baik, aku akan memasuki tahap ujian berikutnya. Selama itu pula, level kehidupanku mengalami kenaikan secara bertahap.

Oleh karena itu, aku tidak mengalami syok saat aku mendapatkan berkah yang melimpah. Aku menerimanya dengan penuh syukur dan menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Semua itu tidak lantas mengubah kehidupan duniawiku secara drastis. Seringkali aku merasa bahwa semua keberlimpahan itu adalah titipan Tuhan. Sehingga dengan penuh kesadaran dan keikhlasan aku pun menyalurkannya kepada yang lebih membutuhkan.

“Mba, di saat teman-teman memilih membeli mobil dan sebagainya, kenapa mba Win masih memilih setiap hari naik ojek?” Itu adalah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh teman kerjaku. Lalu aku bertanya balik, “Mba Di pernah atau tidak terpikir bahwa bisa jadi saya adalah salah satu jalan rezeki bagi para tukang ojek online?” Teman saya menjawab, “Tidak, mba…” Kesimpulannya, mungkin aku tidak bisa mengendarai motor sendiri karena rezekiku tidak untuk kumakan sendiri tetapi untuk kubagi-bagi juga dengan orang lain yaitu tukang ojek.

“Ndhuk, besok kalau pensiun pulanglah ke rumah ini karena rumah ini untukmu.” Ada rasa terharu saat mendengar ibu berkata seperti itu. Aku tidak pernah meminta apapun dari ibu dan bapak. Insyaallah aku mampu memenuhi kebutuhanku dan keluargaku secara mandiri. Tetapi ternyata ibu dan bapak masih memikirkanku. Selama ini aku memang memilih mengontrak rumah daripada mencicil rumah sendiri secara KPR. Semampuku aku berusaha menghindari riba. Sejak melewati proses pulih, sebenarnya aku sudah mulai bisa menabung secara rutin. Namun rupanya Tuhan memberkahi kesabaran dan keikhlasanku melalui ibu dan bapak. Masyaallah.

***

Menjalani kehidupan di dunia hingga lebih dari empat puluh tahun dengan segala suka dan dukanya telah membawaku ke titik ini. Aku sudah melepaskan impian-impian duniawiku yang nyatanya makin menjauh saat aku berusaha mengejarnya. Kehidupanku yang sekarang sudah memberiku ketenangan batin. Tuhan juga selalu mencukupkan kebutuhanku pada saat yang tepat. Cukup aku melakukan yang terbaik dimana pun aku berada. Karena aku percaya bahwa Tuhan sudah mempersiapkan imbalan/pahalanya.

(Tamat)

Yogyakarta, 18 Juni 2021

(Tulisan ini telah dibukukan dalam antologi “Aku Berhak Bahagia”, dengan judul “Kujalani Hidup Atas Skenario-NYA”, diterbitkan oleh Arvita Media, edisi 21 September 2021)