Skip to content

Ayah Bertukar Peran dengan Ibu

Masih ingat postingan saya yang ini? Ternyata isu seperti ini tidak pernah ada habisnya. Selalu bisa dikupas dari berbagai sisi oleh berbagai sumber. Tabloid NOVA 1246/XXIV edisi 9-15 Januari 2012 ini mengupas lagi hal yang sama, stay at home dad. Saya selalu menyimak setiap kali ada artikel yang serupa, disamping saya sendiri mengalaminya, saya juga selalu butuh asupan untuk benar-benar bisa menerima dan mengerti dengan kondisi seperti ini :-). Yukkkk.. kita simak aja gimana isi artikelnya….

Apa saja yang perlu disiapkan saat Anda berdua memutuskan suami mengurus rumah dan anak dan Anda bekerja full time?

Peran ayah kini berevolusi. Dulu ayah diartikan sebagai bread winner alias pencari nafkah utama bagi keluarga. Sekarang, ayah mempunyai makna lebih luas. Yaitu sebagai sosok yang selalu ada untuk anak-anaknya dan bisa diandalkan kapan saja. Artinya, saat ini tak cuma terima laporan dari ibu dan tahu beres mengenai urusan anak dan rumah.

Di beberapa negara, termasuk Indonesia, banyak sekali para ayah yang memutuskan untuk bertukar peran dengan ibu dari anak-anaknya. Stay at home dad (SAHD), demikian sebutan bagi para ayah yang memutuskan untuk mengambil peran besar dalam mengurus urusan rumah tangga hingga mengasuh anak.

Alasan Kepraktisan

Selain kehilangan pekerjaan, Dr. Robert Frank dalam buku Equal Balanced Parenting and The Involved Father menuturkan alasan lain yang melatarbelakangi hal ini. Menurut ahli perkembangan anak dari Amerika Serikat ini, sebuah keluarga biasanya memutuskan siapa yang menjadi pencari nafkah dan siapa yang mengurus rumah tangga berdasarkan pada kepraktisan. “Bisa saja kepribadian suaminya memang lebih cocok untuk membesarkan anak-anak atau lebih mudah melepaskan karier Sang Suami dibanding karier istrinya,” jelas Frank dalam bukunya.

Frank juga menambahkan bahwa pilihan menjadi stay at home dad juga bisa terjadi karena pekerjaan suami memungkinkan ia melakukannya dari rumah alias lebih fleksibel. “Namun pada kebanyakan kasus, stay at home dad terjadi karena penghasilan istri lebih besar atau peluang karier istri lebih bagus dibandingkan suami,” jelasnya. Bicara angka, menurut Anna Surti Ariani, Psi., saat ini jumlah SAHD yang terjadi dengan disengaja alias di luar alasan PHK atau masih menganggur semakin besar dari tahun ke tahun.

Menyiapkan Mental

Sebelum memutuskan menjadi stay at home dad, baik suami dan istri harus menyiapkan fisik dan mental. Dalam hal ini, porsi kesiapan mental lebih besar. Seperti dianggap hanya ongkang-ongkang kaki atau tidak maskulin ketika menjadi SAHD. Misalnya,”Kok, kamu diam di rumah saja? Malah istrimu yang bekerja sampai malam,” atau dipandang sebelah mata ketika Anda (ayah) menggendong bayi sementara istri membawa laptop.

“Dari pandangan maskulinitas, SAHD perlu membuktikan bahwa walaupun dia di rumah, dia tetap maskulin, kok. Bahkan menggendong anak biologis adalah salah satu bukti maskulinitas mereka,” ucap psikolog yang akrab dipanggil Nina ini.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Aaron Rochlen. SAHD mendefinisikan maskulinitasnya berdasarkan versi pribadinya dan tidak terpengaruh oleh stereotip gender dan gender ideal yang berlaku. “Para ayah mampu melihat bahwa kerja keras mereka dalam mengasuh anak merupakan sesuatu yang dinilai maskulin dibandingkan sekedar menghasilkan uang untuk keluarganya,” papar Nina dalam tesisnya yang membahas mengenai SAHD.

Para SAHD juga harus menyiapkan mental istrinya. “Membantu istri menguatkan diri ketika suaminya dianggap kurang maskulin dan mendukung istri yang bekerja,” papar Nina. Begitu pula mengenai pemasukan bagi keluarga. Apalagi SAHD sebenarnya masih bisa membantu pemasukan keluarga meski hanya semampunya. Bisa saja para SAHD ini tetap bekerja dari rumah atau bekerja lepasan.

Dukungan juga bisa berupa menghemat pengeluaran rumah tangga. “Ketika tidak mampu memberi nafkah finansial, berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga agar istri yang lelah bekerja tidak perlu direpotkan lagi ketika sampai di rumah, mendengarkan keluh kesah istri, mmeyakinkan istri bahwa apa yang dilakukannya baik, meyakinkan istri bahwa anak-anak terjaga dengan baik di rumah dan rumah juga oke,” urai Nina.

Positif Bagi Anak

Pada dasarnya baik pria dan perempuan sama-sama berusaha mengasuh dan menjaga keturunannya. Ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kemampuan ayah mengurus anak dan kedekatan ayah dengan anak sama bagusnya ketika dilakukan ibu. Jika ada anggapan bahwa perempuan memiliki insting caring yang lebih kuat lebih didasarkan pada keyakinan seorang perempuan bahwa anaknya memang benar-benar anaknya. “Ketika ada ayah yang kurang ingin terlibat dengan pengasuhan anak, menurut teori psikologi evolusioner, ayahnya kurang yakin bahwa anaknya benar-benar anaknya,” papar psikolog keluarga ini.

Begitu pula dengan anggapan bahwa anak laki-laki yang diurus oleh SAHD cenderung tumbuh kurang maskulin. “Kalau dibedakan secara gender, setahuku justru lebih bagus buat laki-laki. Karena ia cenderung lebih menghargai perempuan, bisa belajar tentang cara laki-laki memperlakukan perempuan dengan baik, dan lebih menghargai tugas-tugas rumah tangga,” ungkap Nina.

Anak laki-laki juga cenderung lebih fleksibel untuk memasuki berbagai jenis pergaulan karena secara kecil sudah dibesarkan dengan SAHD yang termasuk ideologi maskulinitas nontradisional. “Tentu saja ini semua bisa terjadi ketika ayah dekat dengan anak-anaknya,” tambahnya. Manfaat SAHD dan ibu yang bekerja juga didapatkan anak-anak tanpa membedakan jenis kelamin. Mereka cenderung lebih sehat karena aktivitas bersama ayah biasanya lebih banyak melibatkan kegiatan fisik. “Anak juga lebih berani mengambil risiko dan lebih berprestasi di sekolah, dll,” pungkas Nina.

Bila Cekcok

Meski sudah menyiapkan diri, gesekan negatif seperti pertengkaran atau terintimidasi bisa saja terjadi. Hal ini biasanya berhubungan dengan keyakinan suami dan istri mengenai definisi maskulinitas. Jika Anda berdua memiliki pandangan yang modern seperti tak mempermasalahkan ketika suami berpenghasilan lebih rendah dari istri atau suami berperan lebih besar dalam mengasuh anak, masalah bisa diredam seminimal mungkin.

“Sebaliknya bagi mereka yang secara tak sengaja terperosok dalam kondisi SAHD, mau tak mau perlu mengubah ideologinya, meyakini bahwa apa yang dilakukannya adalah baik adanya demi kepentingan anak dan kepentingan rumah tangganya,” papar Nina. Saran Nina, jika memang sangat kesulitan mencari pekerjaan baru, Anda berdua harus menoleransi keadaan. “Juga mengubah beberapa cara menjalani hidup sehingga stressnya engga terlalu besar,” ucapnya.

sumber: NOVA 1246/XXIV | 9-15 Januari 2012

Catatan dari saya: Allah SWT menciptakan makhluk hidup yang bernama manusia bukan dalam bentuk rongsokan, tetapi selalu sebuah bentuk yang sempurna. Namun hanya Allah SWT yang tahu apa definisi dari kesempurnaan tersebut. Saya sebagai manusia sangat bersyukur hidup dalam kondisi saya saat ini, kemarin dan seterusnya. Saya diciptakan dengan ketidaksempurnaan fisik tetapi saya diberi kemampuan untuk bisa bekerja dengan penghasilan yang lumayan, bahkan saya bisa punya 2 pekerjaan (saat ini) dengan 2 penghasilan juga tentunya. Oiya pekerjaan kedua bisa saya kerjakan bersama-sama dengan suami saya. Tetapi dari ketidaksempurnaan fisik saya tersebut, Allah SWT memberikan saya jodoh seorang pria yang sempurna secara fisik dan mental tentunya. Pria tersebut menjadi tambatan hati saya, menjadi penyempurna ketidaksempurnaan saya. Kami bisa saling melengkapi. Saya bersyukur diberi kelebihan dalam ketidaksempurnaan saya dan saya bersyukur bisa menjalani hidup dengan suami yang ikhlas menjadi seorang SAHD. Kehidupan kami berjalan dengan baik, anak kami terjaga setiap saat 🙂

1 thought on “Ayah Bertukar Peran dengan Ibu”

  1. Pingback: Jika Suami Gantikan Peran Istri | Where I share about...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *