Saya membeli buku atau novel memoar Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet ini berawal dari melihat status FB-nya Pak Rizal Malik. Berlanjut dengan sedikit perbincangan di grup WA, disitu ada Bu Reni (istri Pak Rizal) yang sudah khatam membaca novel ini. Karena penasaran dengan kehidupan anak kolong, jadilah saya beli buku novel tersebut lewat mba Santi Lubis (adik si penulis). Informasi penting nih bahwa sebagian pendapatan dari penjualan buku tersebut akan disumbangkan sebagai beasiswa untuk pendidikan anak-anak kolong di asrama-asrama tentara Brigif IV Kodam IV Diponegoro.
Novel memoar Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet ini ditulis oleh Dr. Rusdian (Yan) Lubis, seorang profesional di bidang pengelolaan sumber daya alam lingkungan hidup. Beliau pernah bertugas dan berkarir di The World Bank, PT. Freeport Indonesia, Asian Development Bank, dan lain-lain. Novel ini ditulis dengan gaya “aku” karena memang ini kisah nyata yang dialami oleh si penulis sendiri sebagai anak kolong. Bapak si penulis dikenal dengan sebutan “Pak Kompi”.
Apa sih anak kolong itu? Anak kolong adalah anak-anak tentara yang lahir dan tumbuh kembang di asrama, barak, atau garnisun tentara. Alasan lain saya membeli buku ini adalah karena latar belakang suami saya yang pernah menjadi anak kolong, tinggal sekian puluh tahun di asrama angkatan udara di Biak, Papua. Yaaa.. siapa tahu nantinya saya punya cucu-cucu yang statusnya juga anak kolong.. Aamiin..
Apakah benar anak-anak kolong nakal? Menurut penulis buku yang saya baca di blog unilubis.com, bahwa stigma negatif ini sulit dihilangkan. Mungkin benar, karena watak mereka sering kali terbentuk oleh kondisi sosial ekonomi yang pas-pasan, ketiadaan ayah (karena sering tugas operasi), ditambah lagi karena beban ‘stres” yang dialami ketika ayah mereka bertugas di medan perang.
Novel Anak Kolong di Kaki Gunung Slamet ini lumayan tebal yaitu total 400 halaman. Saya sempat-sempatkan membaca di sela-sela momong baby Dimas serta pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dan bisnis online. Seringkali sampai terkantuk-kantuk saya membacanya. Namun alhamdulillah akhirnya kelar juga.
Menurut saya, di bagian awal novel ini, khususnya chapter I, kurang menarik karena masih cerita dengan latar belakang perjalanan penulis di luar negeri. Cerita mulai menarik ketika masuk ke chapter II yang menceritakan kehidupan di Kratonan Solo. FYI, bahwa novel ini berisi cerita pengalaman pribadi penulis, dimana penulis dilahirkan di Solo, maka cerita ini berawal dari Solo.
Memasuki chapter III, cerita semakin menarik, hingga sampai ke chapter akhir (chapter VII). Bener-bener ceritanya seru banget. Kadang-kadang menegangkan. Kadang-kadang lucu. Namun ada juga cerita yang vulgar. Sebagai pembaca, imajinasi saya seperti terbawa melihat langsung semua yang terjadi di dalam cerita. Sebaiknya memang Anda membaca sendiri isi bukunya ya, gak seru kalo saya yang cerita apalagi kalo hanya ringkasannya 🙂
Di novel ini, tokoh “aku” bergaul dengan berbagai macam manusia, hewan dan alam. Dia bertualang bersama Bawor (tobang/pembantu tentara), jatuh cinta dengan Teteh (penjual karedok), main mata dengan Mbak Yus yang misterius. Tokoh “aku” juga akrab dengan keluarga bromocorah (penjahat) di Hutan Bambu. Dan masih banyak lagi yang dialami oleh tokoh “aku” diceritakan di novel ini.
Kenapa di judulnya tertulis “…di Kaki Gunung Slamet” ? Ya, karena penulis pindah dari Solo mengikuti bapaknya yang hidup berpindah-pindah dari asrama tentara yang satu ke asrama tentara lainnya dimana asrama-asrama tentara tersebut berada di sekitar Gunung Slamet pada tahun-tahun 1962 hingga 1972-an. Antara lain Asrama Yonif 431 Bojong Purbalingga Brigif IV Diponegoro (sekarang Yonif 406-Candra Kusuma), Asrama Yonif 432 Glempang Purwokerto Brigif IV Diponegoro, Asrama Yonif 407 Wonopringgo Pekalongan Brigif IV Diponegoro, Asrama Yonif 405 Cilacap Brigif IV Diponegoro, dan Asrama Yonif 406 Sidayu Gombong Brigif IV Diponegoro.
Membaca jadi banyak tahu.
Nah, berkat membaca novel ini, saya jadi makin tahu gimana sepak terjang PKI ketika itu. Jadi, kekejaman mereka itu benar adanya, bukan cuma seperti yang tergambarkan di film G 30 S/PKI. Asli biadab bin sadis bin kejam. Mereka membantai siapa saja yang tidak disukai. Jadi, jangan salahkan jika kemudian mereka berbalik dihabisi hingga ke akar-akarnya. Kalo sekarang PKI mau hidup lagi, sungguh jaman kebiadaban itu akan bangkit lagi. Jangan sampai terulang lagi!
Selain menjadi lebih tahu mengenai kisah kekejaman PKI, membaca novel ini juga saya seperti ikut merasakan zaman susah ketika itu. Pada zaman tersebut, tentara sibuk terlibat pada Operasi Trikora, Dwikora, penumpasan PKI, dan PGRS/Paraku. Situasi ekonomi mengimpit dan politik rumit selama masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, memuncak pada tragedi 30 September 1965.
Dan masih banyak lagi ilmu-ilmu dan informasi sejarah yang saya dapatkan dari novel memoar ini. Ga sanggup saya menuliskannya satu per satu. Silakan baca sendiri aja yaaaa.. pasti Anda pun akan mendapatkan banyak hal.
Novel ini tidak berpretensi menjadi catatan sejarah, namun penulisnya yang berlatar akademis peneliti menyajikan banyak fakta sejarah dan mengulasnya dengan insight yang dalam. So, novel ini bukan bacaan ringan. Bukan sekedar novel.
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
makasih reviewnya
Komentar ditutup.