Beberapa tahun yang lalu saya pernah posting di blog ini tentang “multitasking”. Kali ini saya dapat artikel menarik juga tentang multitasking tersebut dari tabloid Nova. Ibu bekerja multitasking atau singletasking, mana lebih baik? Simak yuk, semoga bermanfaat juga buat Anda pembaca yang suka multitasking ๐
Banyak orang menganggap bekerja secara multitasking jauh lebih baik karena menghemat waktu. Tumpukan tugas bisa “dibereskan” pada waktu bersamaan. Tapi, benarkah bekerja multitasking lebih baik ketimbang singletasking?
Tidak semua orang bisa bekerja multitasking, dan sebaliknya. Terlebih lagi, otak manusia pada dasarnya bukan komputer yang bisa mengerjakan banyak hal pada saat yang bersamaan. Saya jadi berpikir, jangan-jangan kebiasaan multitasking itu berasal sejak kenal komputer ya…
Teknologi memang kerap dihubungkan dengan multitasking. Istilah multitasking juga baru muncul sekitar dua dekade belakangan dan ini merunut pada istilah prosesor komputer yang makin canggih serta mampu mengerjakan banyak hal pada waktu bersamaan. Istilah ini kemudian juga dipakai pada manusia.
Seolah-olah seorang multitasker mampu menyelesaikan banyak tugas pada waktu yang bersamaan. Padahal, yang terjadi mengerjakan banyak hal satu demi satu juga. Misalnya, browsing materi di laptop, kemudian membaca email, membalas WA, dan seterusnya. Sepertinya melakukan hal banyak, padahal tidak ๐
Ibu Bekerja Multitasking atau Singletasking, Mana Lebih Baik?
Menurut penelitian, wanita memang memiliki kemampuan multitasking. Berbeda dengan pria yang lebih banyak bertipe singletasking. Oleh karena itu, laki-laki umumnya lebih fokus ketika mengerjakan tugas dan hasilnya pun bisa lebih maksimal.
Akibatnya, kerap muncul perbedaan persepsi antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga, bahkan sampai memicu konflik. Si istri menganggap suami enggak mau mengerjakan hal lain, padahal ia tipenya memang singletasker.
Survei menunjukkan, bekerja multitasking tidak terlalu efektif. Pasalnya, fokus mengerjakan satu hal dianggap jauh lebih efektif dan optimal ketimbang mengerjakan banyak hal pada waktu bersamaan. Namun di sisi lain, zaman sekarang juga tidak bisa murni singletasking, pasti ada multitaskingnya.
Lagipula, ada beberapa jenis tugas atau pekerjaan yang memang tidak bisa dilakukan secara multitasking karena beresiko. Misalnya, menyetir sambil membalas WA.
Bekerja multitasking oke-oke saja asalkan tetap menakar kemampuan diri. Jangan sampai energi habis tersedot karena bekerja secara multitasking, sementara outputnya justru tidak memuaskan. Yang penting, bagaimana kita menakar dosis dan kemampuan sendiri.
Kemajuan teknologi belakangan ini juga makin meningkatkan tuntutan untuk ber-multitasking. Teknologi membuat suasana seolah-olah semua orang harus bisa bekerja secara multitasking. Toh, semua yang diperlukan sudah ada di dalam genggaman piranti canggih. Laptop bisa ditenteng kemana-mana, tablet, iPad, smartphone, dan sebagainya. Sambil meeting bisa membalas email atau melakukan deal dengan klien.
Meski teknologi seakan-akan memudahkan bekerja multitasking, kita tetap perlu berhati-hati dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Pasalnya, bekerja multitasking dengan piranti canggih atau gadget tentu harus kenal waktu dan tempat.
Di rumah, sebisa mungkin berhenti ber-gadget, apalagi kalau untuk urusan sepele. Urusan pekerjaan atau tugas, sebisa mungkin tidak dibawa ke rumah karena di rumah adalah waktu untuk keluarga.
Sayangnya, yang kerap terjadi, begitu sampai rumah, orang langsung membuka laptop, membalas email, atau bahkan nge-twit semalaman. Padahal di saat yang sama, mereka tengah bermain bersama anak.
Hmmmm…. ini artinya bagi yang punya pekerjaan dobel (di luar rumah dan di rumah) harus pandai-pandai mengatur waktu dan tempat ๐
Perlu diperhatikan juga soal ber-gadget di depan anak-anak. Jangan salah, anak-anak itu sangat memperhatikan apa yang dilakukan orangtuanya. Jadi, jangan salahkan mereka kalau besarnya nanti juga akan seperti itu.
Contoh lain ketika berlibur. Sudah tahu lagi liburan tapi malah asyik dengan laptop dan HP. Hmmm.. berarti kalo pas berlibur tidak dapat sinyal HP/internet wajib disyukuri hehehe…
Selain hubungan dengan keluarga dan anak, harap diperhatikan juga perlunya manusia akan “me time”, tanpa terikat pada gadget. Hape ketinggalan aja sudah bingung bukan main. Betapa itu melelahkan secara jiwa. Padahal, manusia juga butuh ketenangan. You have to be with yourself.
Maka, sebaiknya kita pintar-pintar mencari keseimbangan. Harus ada waktu dimana kita bisa calm down, memikirkan diri sendiri.
Mitos tentang Multitasking
Berikut ini beberapa mitos tentang multitasking yang sebaiknya diketahui.
1. Multitasking membuat kita bisa mengerjakan lebih banyak pekerjaan
Bisa benar, bisa tidak. Mengerjakan satu demi satu tugas memang membutuhkan waktu lama. Namun yang harus diingat, manusia itu spesifik dan unik. Tidak setiap orang mampu melakukan pekerjaan secara multitasking. Kalaupun dipaksakan, hasilnya bisa saja malah tidak maksimal.
Survei Microsoft justru menunjukkan bahwa mengerjakan satu tugas dan fokus ternyata selesai lebih cepat dibandingkan mengerjakan secara multitasking. Hasilnya pun lebih baik ketika seseorang benar-benar fokus mengerjakannya.
2. Multitasking hemat waktu
Tidak tepat. Kembali lagi ke fungsi otak manusia, dimana otak butuh waktu beberapa detik untuk kembali ke pekerjaan sebelumnya saat ia bekerja multitasking. Manusia juga bukan komputer, ia tidak bisa memproses informasi dengan cepat. Perlu jeda, perlu waktu untuk mengolah dan berpikir.
Bekerja multitasking juga tak optimal meski cepat selesai. Bisa saja terjadi banyak kesalahan. Akibatnya, pekerjan harus dikoreksi lagi. Alhasil, total waktu yang diperlukan menjadi lebih lama.
3. Multitasking tidak merugikan siapa-siapa
Pernyataan ini harus dicek ulang. Terkadang, bekerja multitasking juga bisa merugikan diri sendiri dan juga orang lain. Contoh paling jelas adalah menyetir sambil menelepon atau membalas WA. (Tuhhh… yang pada suka nelpon sambil nyetir…perhatikan ya !!!).
Meski tuntutan zaman memang tidak bisa murni singletasking, Anda tetap harus “berhitung” saat melakukan multitasking. Kalau masih wajar dan output yang dihasilkan masih termonitor, baik kualitas maupun kebutuhan waktunya, ya tidak masalah. Tapi, kalau dengan multitasking, pekerjaan malah terbengkalai, sebaiknya tidak usah.
Hmmm… sentil diri sendiri nih.. agar bijak dalam bermultitasking ๐ Yuk, Bu, sharing di kolom komentar ya mengenai topik kali ini…
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Iya.. makanya saya pikir2 bahwa bila suatu hari sedang liburan dan tidak mendapatkan akses online apapun, maka itu adalah sebuah anugerah yang harus disyukuri ๐
Supaya ga multitasking, kuncinya harus punya prioritas; mulai dari top prioritas dan seterusnya sampai yang tidak priortas ๐
Masalah muncul adalah ketika semuanya minta diprioritaskan ๐