Lompat ke konten
Home » Self Improvement » Me Time ala Wiwin Pratiwanggini

Me Time ala Wiwin Pratiwanggini

  • oleh
me time

Me Time ala Wiwin Pratiwanggini – Sebagai ibu bekerja full time sekaligus ibu rumah tangga dengan dua anak, tentu saja saya memiliki kesibukan yang lumayan. Tidak jarang saya juga mengalami overload pekerjaan. Tapi ada kalanya juga saya bisa santai. Sebagai insan biasa saya membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, mengambil jeda di sela-sela aktivitas dan rutinitas. Karena bagi saya, hidup haruslah seimbang antara untuk bermanfaat bagi orang lain dan untuk mencintai diri sendiri. Hidup yang seimbang membuat hati saya gembira yang akan memberi dampak positif yaitu keluarga yang bahagia.

Nahhh, bagi Anda yang penasaran seperti apa sih me time ala Wiwin Pratiwanggini ini, bolehlah ya saya sharing pengalaman saya. Kebetulan pengalaman ini sudah pernah saya bukukan ke dalam sebuah antologi bertema Me Time, My Time yang diterbitkan oleh Indscript Creative pada Desember 2020.

Me Time, My Time

“Sudah siap pergi kerja … pamit suami … naruh sesajen si bocil. Eh, si bocil bangun. Terus gimana, dong? Saya selesaikan dulu urusan si bocil: mandi, dan sarapan. Setelah bocil beres, baru deh ditinggal pergi. Kalo anak hepi, ibu bisa kerja dengan tenang. Ya atau iya?”

Itu adalah status yang aku tulis di akun media sosial pada suatu pagi. Bukan mengeluh, tetapi cerita kerempongan pagi hari beserta solusi yang aku lakukan. Ya, akhirnya semua hepi. Anak tidak rewel saat aku tinggal pergi. Aku pun berangkat ke kantor dengan tenang.

Menjadi ibu rumah tangga sekaligus ibu bekerja full time menjadi tantangan tersendiri bagiku. Dinamikanya luar biasa. Lalu bagaimana aku bisa mengatur semuanya agar tetap berjalan harmonis antara mengurus keluarga dan pekerjaan? Bagaimana aku menjaga pikiran dan hatiku agar tetap gembira dan bahagia?

Aku adalah seorang perempuan mandiri sejak masih gadis. Aku sudah menjadi karyawan di sebuah kantor konsultan menjelang usia 20 tahun. Tujuh tahun kemudian aku menikah. Atas izin suami, aku tetap bekerja di luar rumah hingga hari ini. Menjadi ibu bekerja full time tidak menjadikan aku lantas melupakan pekerjaan rumah tangga. Aku tetap menjadi ibu rumah tangga seutuhnya saat berada di rumah. Sedangkan saat di kantor, aku fokus pada pekerjaan. Aku dan suami bukan tipe yang setiap jam harus saling mengontrol. Kami menghargai kesibukan masing-masing. Dengan demikian saat bekerja di kantor aku tetap bisa tenang dan fokus menyelesaikan target pekerjaan.

Belasan tahun menikah, aku dikaruniai dua orang anak laki-laki. Anak yang pertama saat ini sudah duduk di bangku SMA. Anak yang kedua masih balita. Iya, jarak kelahiran mereka adalah 15 tahun. Memiliki 2 anak adalah di luar rencanaku. Selama 15 tahun aku dan suami memutuskan untuk fokus mengasuh dan mendidik satu anak saja. Tetapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Tentu saja kehadiran anak kedua kami syukuri. Apalagi Tuhan memberikannya di saat yang tepat. Aku katakan Tuhan mengaruniai anak kedua tepat pada waktunya karena ia hadir di saat kakaknya sudah mandiri. Bahkan sejak adiknya berusia 1 tahun si kakak tinggal bersama neneknya. Jadi, praktis aku hanya mengasuh si adik.

Setiap hari Senin hingga Jumat aku berangkat kerja sekitar jam 8-9 pagi. Jam kerjaku yang dimulai jam 9.30 ini juga aku syukuri karena aku tidak harus pergi ke kantor pagi-pagi sekali. Dengan demikian aku masih bisa leluasa mengurus rumah dan anak. Konsekuensi dari jam kerja yang lebih siang dibandingkan lainnya adalah aku pulang kantor lebih sore. Biasanya sekitar waktu Magrib aku baru sampai di rumah. Begitu sampai tak banyak lagi hal-hal domestik yang perlu kuurus karena biasanya sudah ditangani oleh suami. Akhirnya pulang kerja aku fokus menemani suami dan si adik. Sambil menemani adik bermain dan belajar, aku dan suami juga mengobrol tentang banyak hal. Jadi, pulang kerja adalah benar-benar menjadi family time hingga waktunya istirahat malam.

me time

***

“Wiwin, saya mau laporan keuangan per akhir bulan ini sudah bisa siap hari ini juga. Lengkap dengan anggaran untuk 5 tahun ke depan dalam bentuk tabel dan grafik.” Dan aku sudah terbiasa dengan instruksi yang datang secara tiba-tiba. “Baik, Pak. Akan segera saya siapkan. Saya usahakan jam 3 sore sudah terkirim lewat email.”

Sebagai karyawan yang memiliki beban tugas dan tanggung jawab yang cukup besar, sebisa mungkin aku tidak membawa beban pekerjaan ke rumah. Bagiku, urusan kantor, ya, di kantor saja. Jika memang harus lembur, aku mengerjakannya tetap di kantor. Jadi, di rumah benar-benar aku tidak ingin terkontaminasi oleh urusan pekerjaan kantor.

Manajemen yang baik meskipun belum sempurna, membuatku terbiasa meninggalkan rumah dalam kondisi bersih dan rapi. Bagiku itu adalah salah satu cara untuk menghindarkan aku dari stres. Karena di tempat kerja aku tidak kepikiran kondisi rumah lagi. Kalaupun pulang kerja aku menemukan rumah dalam kondisi berantakan karena ada anak balita, aku masih bisa maklum. Sejauh ini tidak membuatku stres. Seringkali membereskan mainan si adik sesaat setelah sampai di rumah seperti menjadi hiburan tersendiri bagiku. Menjadi semacam relaksasi setelah penat seharian bekerja di kantor.

***

Sebagai ibu bekerja full time, apakah aku tidak memiliki asisten rumah tangga? Jujur saja, aku pernah memiliki asisten rumah tangga saat si adik masih bayi. Tapi setelah ART ini pamit, aku tidak mencari lagi. Bersyukur aku memiliki suami yang tidak terikat dengan jam kerja, sehingga kami bisa berbagi tugas. Yaitu tugas menjaga anak dan juga beberapa hal urusan domestik. Dengan demikian, tanpa ART pun sejauh ini tidak ada masalah. Toh, si adik sudah semakin besar, sudah bisa dilibatkan dalam berbagai macam kegiatan di rumah.

Di luar kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan pekerja, aku pun memiliki kegiatan yang lain. Kegiatan inilah yang menjadi penyeimbang, yang menjagaku agar tidak stres karena masalah rumah tangga atau beban pekerjaan. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar kelas IV satu bakatku ditemukan. Yaitu bakat menulis. Waktu itu aku mewakili sekolahku mengikuti lomba mengarang tingkat kabupaten. Aku menjadi pemenang kedua. Ini menjadi cikal bakalku menjadi senang menulis.

Waktu terus berjalan dan aku yang tidak mau ketinggalan teknologi ini pun kemudian mengenal blog. Lewat blog aku melampiaskan hobiku menulis. Menulis bukan lagi mengandalkan bolpoin dan kertas, tetapi menulis secara digital. Bahkan tulisan tersebut dipublikasikan. Sudah ribuan artikel yang aku tulis di dalam blog. Beberapa tahun di awal aku menulis blog, masih banyak artikel yang isinya sekedar curahan isi hati. Bisa dibilang ‘nyampah’, mengeluarkan segala macam uneg-uneg. Namun semakin kesini, aku belajar banyak bahwa di dalam blog aku bisa menulis banyak hal yang bisa bermanfaat bagi orang lain pula. Baik artikel yang informatif maupun yang inspiratif.

Tidak sedikit pembaca blog yang tercerahkan oleh tulisanku. Banyak pula pembaca blog yang sangat terbantu oleh informasi yang aku tulis. Lambat laun banyak tulisanku di blog yang menghasilkan rupiah. Jadi bisa dibilang menulis blog adalah hobi yang menghasilkan. Tentu saja itu didukung dengan ketekunanku merawat blog tersebut. Blog menjadi semacam rumah keduaku, rumah maya. Saat aku suntuk dengan kegiatan sehari-hari, aku buka blog. Kalau sedang tidak ada ide menulis, aku blogwalking dulu. Berkunjung ke blog teman-teman sesama blogger. Jika ada ide yang meletup-letup, sesegera mungkin aku tuangkan di blog agar tidak keburu menguap. Rasanya puas dan lega saat tulisan sudah selesai dan aku klik ‘publish’. Setelah itu aku kembali ke dunia nyata dengan langkah yang ringan dan hati yang gembira.

***

Sejak kehadiran pandemi Covid-19 di Indonesia, aku seperti mendapat mainan baru. Sesuatu yang membuatku semakin tenggelam dengan dunia menulis. Yaitu hobiku menulis tersalurkan lewat pembuatan buku-buku antologi. Sebenarnya aku sudah pernah menulis buku antologi pada awal tahun 2019, tetapi setelah itu vakum sangat lama. Barulah saat pandemi itu datang, proyek-proyek antologi bermunculan di depan mataku.

Proyek pembuatan buku antologi yang menawarkan aneka macam tema, menarik hatiku untuk mengambilnya satu demi satu sesuai tema yang aku kuasai. Aku seperti mendapatkan panggung untuk menyuarakan isi hati dan pikiranku. Aku seperti menemukan wadah yang tepat untuk berbagi pengalaman yang menginspirasi. Aku bersyukur sekali justru di saat pandemi aku bisa produktif menulis buku. Alhamdulillah lancar, hingga akhir tahun 2020 aku berhasil menelurkan 12 (dua belas) buku antologi. Sebagian besar kisah aku angkat dari pengalamanku sendiri. Namun ada juga aku mengangkat kisah dari pengalaman orang lain.

***

Keremponganku sebagai ibu bekerja sekaligus ibu rumah tangga yang tanpa ART harus diimbangi dengan kegiatan lain yang bisa aku nikmati. Jangan sampai suami dan anak-anakku melihatku uring-uringan karena beban rumah tangga dan beban pekerjaan. Aku harus menjadi ibu yang selalu gembira untuk mereka.

Menulis, baik untuk blog maupun untuk buku, menjadi salah satu caraku untuk menjaga hatiku tetap gembira dan bahagia. Bersyukur suami dan anak-anakku mendukung kegiatanku ini. Mereka sudah paham apa yang aku lakukan jika aku bangun dini hari kemudian menyalakan laptop. Membuka laptop saat dini hari artinya aku akan menulis. Membuat artikel untuk blog atau membuat naskah untuk antologi. Sebelum dan sesudah waktu Subuh, jam 5.30 pagi, barulah aku beranjak memegang urusan domestik.

Terimakasih untuk bakatku yang sudah ditemukan saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Terimakasih untuk teknologi yang sudah menyediakan fasilitas bagi para penulis. Saat-saat “me time”-ku menjadi lebih mudah. Hatiku gembira, keluargaku bahagia.

“Menjaga kewarasan seorang ibu itu penting. Karena kunci keluarga bahagia adalah ibu yang bahagia. Ibu bahagia adalah ibu yang hatinya selalu gembira.” (Wiwin Pratiwanggini)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *