Delapan belas tahun yang lalu, tepatnya 19 Desember 2006, seorang teman baik saya pernah mengirimkan tulisan motivasi berjudul Burung dengan Sayap Sebelah. Tulisan tersebut ditulis oleh Gede Prama (Guruji Gede Prama), seorang penulis, pembicara, motivator dan pembimbing meditasi asal Indonesia. Barangkali di antara Anda belum pernah membaca motivasi ini, saya tulis ulang di sini, sekaligus sebagai pengingat saya, karena filosofi yang terkandung dalam Burung dengan Sayap Sebelah ini sangat bagus.
Burung dengan Sayap Sebelah
Seorang sahabat dengan potensi tinggi, mengeluh berat setelah pindah-pindah kerja di lebih dari lima tempat. Tadinya, saya pikir ia mencari penghasilan yang lebih tinggi. Setelah mendengarkan dengan penuh empati, sahabat ini rupanya mengalami kesulitan dengan lingkungan kerja. Di semua tempat kerja sebelumnya, dia selalu bertemu dengan orang yang tidak cocok. Di sini tidak cocok dengan atasan, di situ bentrok dengan rekan sejawat, di tempat lain malah diprotes bawahan.
Kalau sahabat di atas berhobi pindah-pindah kerja, seorang sahabat saya yang lain punya pengalaman yang berbeda lagi.
Setelah berganti istri sejumlah tiga kali, dengan berbagai alasan yang berbau tidak cocok, ia kemudian merasa capek dengan kebiasaan berganti-ganti pasangan ini.
Seorang pengusaha sukses punya pengalaman lain lagi. Setiap kali menerima orang baru sebagai pimpinan puncak, ia senantiasa semangat dan penuh optimis. Seolah-olah orang baru yang datang pasti bisa menyelesaikan semua masalah. Akan tetapi, begitu orang baru ini bekerja lebih dari satu tahun, maka mulailah kelihatan busuk-busuknya. Dan ia pun mulai capek dengan kegiatan berganti-ganti pimpinan puncak ini.
Digabung menjadi satu, seluruh cerita ini menunjukkan bahwa kalau motif kita mencari pasangan (entah pasangan hidup maupun pasangan kerja) adalah mencari orang yang cocok di semua bidang, sebaiknya dilupakan saja.
Bercermin dari semua inilah, maka sering kali saya ungkapkan di depan lebih dari ratusan forum, bahwa fundamen paling dasar dari manajemen sumber daya manusia adalah manajemen perbedaan. Yang mencakup dua hal mendasar:
- menerima perbedaan, dan
- mentransformasikan perbedaan sebagai kekayaan.
Sayangnya, kendati idenya sederhana, namun implementasinya memerlukan upaya yang tidak kecil. Ini bisa terjadi, karena tidak sedikit dari kita yang menganggap diri seperti burung yang bersayap lengkap. Bisa terbang (baca: hidup dan bekerja) sendiri tanpa ketergantungan pada orang lain. Padahal, meminjam apa yang pernah ditulis Luciano de Crescendo, kita semua sebenarnya lebih mirip dengan burung yang bersayap sebelah dan hanya bisa terbang kalau mau berpelukan erat-erat bersama orang lain.
Anda boleh berpendapat lain, namun pengalaman, pergaulan dan bacaan saya menunjukkan dukungan yang amat kuat terhadap pengandaian burung bersayap sebelah tadi.
Di perusahaan, hampir tidak pernah saya bertemu pemimpin berhasil tanpa kemampuan bekerja sama dengan orang lain.
Di dalam keluarga, tidak pernah saya temukan keluarga bahagia tanpa kesediaan sengaja untuk ‘berpelukan’ dengan anggota keluarga yang lain.
Di tingkat pemimpin negara, orang sehebat Nelson Mandela dan Kim Dae Jung bahkan mau berpelukan bersama orang yang dulu pernah menyiksanya.
Lebih-lebih kalau kegiatan berpelukan ini dilakukan dengan penuh cinta. Ia tidak saja mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, mentransformasikan kegagalan menjadi keberhasilan, namun juga membuat semuanya tampak indah dan menyenangkan. Makanya, penulis buku Chicken Soup For The Couple Soul mengemukakan bahwa cinta adalah rahmat Tuhan yang terbesar.
Demikian besarnya makna dan dampak cinta, sampai-sampai ia tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Rugi besarlah manusia yang selama hidupnya tidak pernah mengenal cinta. Ia seperti pendaki gunung yang tidak pernah sampai di puncak gunung. Capek, lelah, penuh perjuangan namun sia-sia. Ini semua, mendidik saya untuk hidup dengan pelukan cinta.
Di pagi hari ketika baru bangun dan membuka jendela, saya senantiasa berterimakasih akan pagi yang indah. Dan mencari-cari lambang cinta yang bisa saya peluk. Entah itu pohon bonsai di halaman rumah, ikan koi di kolam, atau suara anak yang rajin menonton film kartun. Begitu keluar dari kamar tidur, akan indah sekali hidup ini rasanya kalau saya mencium anak, atau istri.
Melihat burung gereja yang memakan nasi yang sengaja diletakkam di pinggir kali, juga menghasilkan pelukan cinta tersendiri. Demikian juga dengan di kantor, godaan memang ada banyak sekali. Dari marah, stres, frustrasi, egois, sampai dengan nafsu untuk memecat orang. Namun, begitu saya ingat karyawan dan karyawati bawah yang bekerja penuh ketulusan, dan menghitung jumlah perut yang tergantung pada kelangsungan hidup perusahaan, energi pelukan cinta entah datang dari mana.
Kembali ke pengandaian awal tentang burung dengan sebelah sayap. Tuhan memang tidak pernah melahirkan manusia yang sempurna. Kita selalu lebih di sini dan kurang di situ. Atau sebaliknya. Kesombongan atau keyakinan berlebihan yang menganggap kita bisa sukses sendiri tanpa bantuan orang lain, hanya akan membuat kita bernasib sama dengan burung yang bersayap sebelah, namun memaksa diri untuk terbang.
Sepintar dan sehebat apapun kita, tetap kita hanya akan memiliki sebelah sayap. Mau belajar, berjuang, berdoa, bermeditasi atau sebesar dan sehebat apapun usaha kita, semuanya akan diakhiri dengan jumlah sayap yang hanya sebelah. Oleh karena alasan inilah, saya selalu ingat pesan seorang sahabat untuk memulai kehidupan setiap hari dengan pelukan. Entah itu memeluk anak, memeluk istri, memeluk kehidupan, memeluk alam semesta, memeluk Tuhan atau di kantor memulai kerja dengan ‘memeluk’ orang lain.
Have a day full of SMILE, GOOD WORK, SUCCESS, and LOVE!
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Saya baru tahu filosofi burung dengan sayap sebelah Mbak. Dan ini maknanya memang keren sekali dan semua benar. Seseorang tidak akan ada yang bisa berhasil dan sukses, tanpa bantuan orang lain. Saya jadi ada ide untuk menulis dalam cerita anak.
Sebenarnya kita tuh sudah tahu kalau sebagai manusia tuh kita tidak sempurna. Sama seperti burung dengan sayap sebelah. Dia butuh burung lain untuk terbang. Maka, manusia juga begitu. Ada kalanya butuh orang lain dalam satu aktivitas dalam hidupnya. Cuma, sering kali kita enggan untuk mengakui. Sehingga, membuat kita terlihat angkuh dan egois.
Karena pada dasarnya kita tidak bisa hidup sendiri, pasti ada bantuan dari orang lain, salah satu halnya adalah ketika wafat, kan tidak mungkin kita yang mengurus jenazah kita sendiri.
Filosofi burung dengan sayap sebelah, maknanya dalem banget. Jadi, dalam hal apapun, cinta itu perlu dihadirkan supaya kita bisa lebih menghargai apa yg ada dihadapan kita. Asal jgn baper aja sih ya, hehe..
Oalah, itu ya maksudnya. Jadi kita ini bukanlah burung yang sayapnya lengkap. Kita semua adalah burung dengan satu saya. Kalau mau bisa terbang, kita harus bekerjasama, saling menghargai, dan membutuhkan orang lain.
Perumpamaan yang tepat sekali. Saling “memeluk” ini juga terlihat sangat jelas di dunia politik. Yang di akar rumput masih gontok-gontokan, yang di tingkat elite sudah “berpelukan”.
MashaAllaa~
Selaras dengan drama korea yang sedang aku tonton, ka Win.. judulnya Misaeng.
Memang manusia tuh awalnya tercipta sendiri, namun sejatinya ketika hidup di dunia, dia gak bisa bener-bener sendiri. Selalu butuh orang lain untuk membantu dan melengkapinya dengan kasih sayang, komunikasi dan saling bantu.
Ya Allah iyaa bener banget, sehebat apapun manusia ngga ada yang sempurna.
baru tau filosofi ini mbaa, thankyou penjelasannya
Filosofi ini membuat saya merenung tentang ketergantungan manusia. Kita sering kali merasa cukup kuat sendiri, padahal kenyataannya kita adalah makhluk sosial. Dengan saling bersandar, kita bisa mengatasi segala rintangan. Sebuah perspektif yang sangat menginspirasi.
Dimanapun kita pasti akan menjumpai orang yang tidak sesuai dengasn diri kita. Tinggal kitanya saja yang memahaminya sebagai fenomena yang biasa atau menjadikannya beban…