Dua minggu yang lalu saya menjadi host dalam event blog tour yang berisi review buku Single, Strong, and Sparkling. Di dalam blog tour tersebut saya juga mengadakan giveaway dengan topik bahasan hidup melajang bagi perempuan. Dua (2) orang pemenang giveaway masing-masing akan mendapatkan hadiah berupa 2 (dua) buah buku berjudul Single, Strong, and Sparkling.
Alhamdulillah banyak teman blogger yang turut meramaikan blog tour ini serta berpartisipasi mengikuti giveaway-nya. Sebagai host, saya sangat berterima kasih atas respon teman-teman. Semoga apa yang saya tuliskan disana bermanfaat buat teman-teman semua. Terimakasih juga sudah dibantu share melalui media sosial teman-teman.
Blog tour sudah berakhir pada 15 Maret 2021 tepat pada jam cinderella. Jujur aja, saya sempat bingung memilih 2 (dua) pemenang dari 24 orang yang mengikuti giveaway karena apa yang mereka tuliskan semuanya keren-keren. Tapi bagaimanapun saya harus membuat keputusan. Finally, 2 (dua) orang pemenang yang masing-masing akan mendapatkan hadiah buku berjudul Single, Strong, and Sparkling dari Komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis, adalah:
- Annie Nugraha (blog: annienugraha.com – Twitter: @AnnieNugraha)
- Didik Purwanto (blog: www.didikpurwanto.com – Twitter: @ditopuccino)
Untuk pengiriman hadiah, pemenang akan saya hubungi melalui email atau japri ke akun media sosial masing-masing. Sekali lagi, terima kasih banyak, sampai jumpa di blog tour atau giveaway yang akan datang 🙂
Berbagai Pendapat tentang Hidup Melajang Bagi Perempuan
Apa sih tantangan yang saya berikan dalam blog tour itu? Enggak sulit koq…, yaitu cukup memberikan pendapat atau jawaban terbaik atas pertanyaan ini:
“Bagaimana pendapat Anda tentang pilihan hidup sendiri (single/melajang) bagi perempuan?”
Dari puluhan pendapat yang masuk, semuanya bagus. Sebagian saya salin kesini, maaf tidak semuanya, supaya tidak terlalu panjang, ya… Semoga bermanfaat 🙂
Pendapat dari mba Annie Nugraha
“Memutuskan untuk tetap single bukan perkara gampang juga. Banyak alasan dibalik keputusan tersebut. Bisa jadi berangkat dari sebuah luka yang tak tersembuhkan. Atau sebuah situasi/keadaan yang menuntut seorang wanita untuk tetap sendiri karena keberadaannya sangat dibutuhkan oleh orang lain (keluarga atau orang tua).
Perempuan juga terlahir dengan mental yang kuat. Lebih mandiri daripada pria. Bisa melakukan semua pekerjaan bahkan profesi yang kita pikir hanya bisa dilakukan oleh lelaki. Dengan kedewasaan yang muncul jauh lebih cepat dari pria, menjadikan perempuan terlatih untuk mengambil keputusan dengan keteguhan hati.
Saya berteman dengan beberapa perempuan dengan kondisi seperti di atas. Meski terkadang merasa sepi di tengah keramaian teman-teman lain yang berumahtangga, nyatanya mereka tetap bisa menjadi teman ngobrol yang asik dan menikmati hidupnya tanpa hambatan, tanpa beban. Semua kembali pada keputusan pribadi. Apapun itu, saat mampu menjalani semua dengan keikhlasan, hidup sendiri pun akan terasa ringan.”
Pendapat dari mas Didik Purwanto
“Seseorang yang menikah bisa tidak lebih bahagia dibanding yang masih lajang. Menikahlah karena siap, siap untuk menanggung segala tanggung jawab (baik sebagai istri/suami) dengan segala manis pahitnya. Bukan hanya mau enaknya aja.
Berdasarkan data, kebanyakan perempuan Indonesia melajang bukan karena tidak memiliki jodoh tapi karena belum menemukan jodoh yang sesuai harapannya. Ini akibat perempuan makin berdaya, termasuk dalam kesetaraan gender.
Pemberdayaan perempuan ini memicu mereka meninggalkan nilai tradisional yang menjadikan wanita hanya sebagai 3M (macak, masak, manak) alias berhias, memasak, dan mengandung.
Kini banyak perempuan malah menduduki posisi penting di sebuah perusahaan atau dalam ekonomi keluarga. Bisa jadi mereka ini belum menemukan pasangan yang melebihinya, bukan hanya dalam status ekonomi tapi bisa saja pendidikan hingga kedewasaan.
Semua orang berhak bahagia. Jadi jangan menghakimi jika menikah akan menjadikanmu lebih bahagia. Kalau bahagia tujuannya, kenapa angka perceraian malah meningkat, terutama di Indonesia?”
Pendapat dari mba Indah Rini
“Menjadi single atau double rasanya adalah sebuah pilihan. Setiap individu berhak menentukan jalan hidupnya ke depan sesuai dengan kemauan yang ingin digapai masing-masing. Menjadi perempuan single, mungkin di masyarakat kita masih terdengar tabu, namun jika ditelusuri tidak sedikit perempuan yang memilih menjadi single dengan alasan tertentu. Pernah mengalami kegagalan dalam berumah tangga, pernah berkali-kali putus cinta, mengalami pelecehan atau kekerasan dengan laki-laki. Membuat rasa ingin merajut cinta sudah tak ada harapan lagi, akhirnya single menjadi pilihan.
Jika dengan single perempuan bisa menjadi lebih hidup dan bermanfaat untuk sekitar, kenapa tidak? Jika dengan double atau memiliki pasangan justru malah menimbulkan banyak madharat, bukankah lebih baik single namun lebih banyak menebar manfaat untuk sekitarnya? Hidup ini Allah yang mengatur, semua memang memiliki jodoh, jika tidak didapatkan di dunia bisa jadi di akhirat kelak akan mendapatkannya dan pasti itu jauh lebih baik. Tugas kita sebagai makhluk hanya melakukan yang terbaik menurut ajaran yang dianut masing-masing.”
Pendapat dari mba Imawati Annisa
“Pendapat saya pribadi mengenai seorang perempuan yang memilih untuk hidup sendiri adalah mutlak kebebasannya. Jujurly, dulu saya waktu masih kecil piyik-piyik juga mengikuti pola pikir masyarakat yang ada di lingkungan kalau perempuan usia 20-an itu dipandangnya wajib-kudu-mesti udah punya pasangan minimal calon pendamping hidup.
Semakin bertambahnya usia, alhamdulillah wawasan nambah juga nih, hehe. Jadi sadar kalau umur berapa seseorang menikah tidak bisa menentukan apakah hidupnya bahagia atau tidak.
Saya punya teman yang pernah “menggurui” saya untuk cepat-cepat menikah di usia early 20 bahkan sebelum lulus kuliah karena dia sudah berkeluarga pada saat itu, tapi kemudian mendengar dia bercerai beberapa tahun kemudian karena dia tidak lagi bahagia bersama pasangannya.
Saya juga punya teman yang belum menikah sebab suatu hal dan lainnya hingga sekarang. Mereka bercerita kalau yang membuat mereka tertekan dan kekurangan rasa bersyukur serta bahagia adalah pandangan orang lain dan sekitar yang menganggap single di usia 30-an itu “sayang banget”.
Salah satu sahabat saya bahkan rela berada dalam “toxic relationship” sebab takut menjadi single (lagi) bukan karena apa-apa melainkan karena bagaimana pandangan keluarga besarnya kalau dia kembali jadi jomblo. Sad banget ‘kan yaa ? Untungnya, sahabat-sahabatnya support agar lebih baik dia single daripada bersanding dengan orang yang salah for the rest of her life.
Maaf ya Mbak Wiwin jadi panjang x lebar begini karena saya yakin dibalik pilihan seseorang untuk tetap lajang di usia 20, 30, 40, dan seterusnya itu pasti ada alasannya. Jadi, lebih bijak daripada nanya-nanya “Mana calonnya?”, “Sibuk kerja terus ya makanya masih sendiri?”, dan sebagainya yang bikin sakit hati mending bertanya hal lain, cerita-cerita tentang yang lain. Masih banyak loh topik obrolan menarik dan bermutu daripada basa basi kayak gitu…”
Pendapat dari mba Akarui Cha
“Bagi saya, bukan masalah sebenarnya bagi perempuan jika ingin hidup melajang. Namun yang berat sebenarnya adalah menghadapi anggapan dari masyarakat sekitar.
Jika memilih melajang sedari gadis, bisa dibilang terlalu pemilihlah, terlalu sibuk bekerjalah, bahkan ada saja yang mengesankan si perempuan terlalu pintar sehingga lelaki takut.
Padahal ‘kan? Apa salahnya jadi pemilih? Apa salahnya jadi perempuan pintar nan mandiri?
Jika ditinggal mantan suami, omongannya lebih tega lagi.
Padahal nggak ada salahnya hidup melajang. Menikah atau tidak, sendiri atau sepaket, itu pilihan. Selalu ada dramanya sendiri.
Menikah ada dramanya. Sendiri pun ada dilemanya.
Hidup tiap orang, berbeda. Nggak bisa dan nggak harus selalu sama.
Saling hormat dan mengerti sajalah. Apalagi bagi sesama perempuan. Saling menguatkan malah lebih menyenangkan, bukan?”
Penutup
Tidak perlu jauh-jauh, seorang teman dekat saya pun masih single hingga usianya yang sudah melebihi angka 50. Sejauh ini, ia baik-baik saja, ia begitu menikmati hidup, ia begitu mencintai keluarga besarnya. Saya tidak ingin tahu lebih jauh apa alasannya masih sendiri, melihat hidupnya bahagia dan dia tetap eksis saja saya sudah turut senang.
Namun demikian, saya mencoba merangkum dari berbagai sumber mengenai alasan hidup melajang bagi perempuan sebagai berikut:
- Perempuan semakin berdaya. Kesetaraan gender meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan dan dunia kerja. Pemberdayaan perempuan ini mendorong mereka meninggalkan nilai tradisional yang hanya mengukur status perempuan melalui peran mereka dalam rumah tangga.
- Minimnya pilihan calon suami untuk wanita karier. Semakin tinggi pendidikan dan karier seorang perempuan, semakin kecil peluangnya untuk mendapatkan pasangan dengan atribut yang lebih tinggi darinya. Jadi, kebanyakan perempuan melajang bukan karena tidak memiliki jodoh, tetapi karena tidak bisa bertemu jodoh yang sesuai harapan.
- Semua berhak bahagia. Seseorang yang telah menikah tidak serta merta lebih bahagia dari yang tidak menikah, hal ini bisa disebabkan karena kuatnya dorongan lingkungan untuk menikah sehingga memutuskan untuk menikah tanpa pertimbangan matang, atau terpaksa menerima dijodohkan oleh orang tua agar terbebas dari stigma, atau ruang privasinya tidak dihormati. Oleh karena itu perlu menciptakan budaya mendorong seseorang menikah hanya ketika ia siap dan memberi ruang bagi individu untuk memilih jalan hidup yang membuatnya nyaman menuju kebahagiaan.
Semoga bermanfaat. 🙂
Referensi:
– Buku Single, Strong, and Sparkling
– Situs theconversation.com
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Aku jd tertarik utk punya bukunya ;). Sepertinya menarik. Banyak temen2 kantorku yg sampe skr melajang, walopun usia sudah kepala 4 ato nyaris kepala 4.
Tp aku perhatiin walo blm ketemu jodoh di usia segitu, sebagai gantinya karir mereka melesat tinggi, dan buatku itu juga pencapaian sih. Pernah aku tanya, mereka pgn ttp kayak skr, ato nanti dpt jodoh, cm tidak bisa melanjutkan karir lagi? Rata2 jawabannya pgn ttp kayak skr 😀
Ntah karena sudah keenakan hidup sendiri yg ga harus bertanggung jawab terhadap org lain, ato mungkin ada trauma lain, Ntahlaaah.
Buatku itu pilihan mereka. Walopun aku sendiri LBH memilih menikah dan ngorbanin karir, tp buat temen2 yg ingin kebalikannya, asalkan itu bisa membuat mereka bahagia, go ahead.
To: Fanny_DCatQueen
Intinya adalah kebahagiaan yang saat ini bisa dirasakan. Mungkin suatu hari nanti bisa jadi mereka berubah pikiran. Karena menurut saya, di mana saja dan dengan siapa pun, kitalah yang bisa menciptakan bahagia itu. Ya ‘kan ya..?