Aku Bangga Berpenghasilan Dari Rumah – Pada jamanku dulu, lulus pendidikan kejuruan yaitu SMEA adalah merupakan kebanggaan tersendiri. Sekolah Menengah Ekonomi Atas yaitu sekolah kejuruan yang pada jamannya bisa dikatakan cukup bergengsi. Kalau mau, menjadi pegawai negeri pun tidak sulit. Tetapi aku memilih menjadi ibu rumah tangga.
Aku menikah di usia yang masih relatif muda namun sudah cukup matang untuk berumah tangga yaitu usia 23 tahun. Sedangkan suamiku saat itu berusia 25 tahun. Sebagaimana aku, suamiku pun saat itu bukan pegawai negeri. Dia bekerja apa saja yang penting halal.
Saat kami sudah memiliki 3 orang anak dengan jarak masing-masing 2 tahun, terjadilah perubahan nasib pada keluargaku. Saat anak pertamaku berusia 6 tahun, suamiku harus merantau ke luar pulau Jawa. Ya, suamiku diangkat menjadi guru PNS di sebuah SMP negeri di pulau Sumatera.
Perjalanan yang berat dan panjang pun dimulai.
Sejak saat itu aku hidup terpisah dari suamiku. Aku tetap tinggal di rumah kami dengan mengasuh ketiga anak yang masih kecil-kecil. Kenapa aku tidak ikut suami saja? Tidak mungkin dan aku tidak tega menambah berat beban suamiku yang sedang berjuang. Ya, awal-awal ditempatkan di pulau Sumatera adalah sebuah perjuangan.
Kelak perjuangan itu dilaluinya hingga kurang lebih 10 tahun. Saat anak pertamaku sudah duduk di bangku SMA, barulah suamiku bisa pulang kembali ke pelukan kami. Ia berhasil pindah tugas ke pulau Jawa, di daerah kami sendiri.
Selama 10 tahunan itu aku ikhlas menjalani hubungan pernikahan jarak jauh. Aku ikhlas menjalani beratnya kehidupan. Aku ikhlas suamiku hanya pulang setahun sekali saat libur panjang pergantian tahun ajaran baru.
Pada masa-masa itu hanya melalui surat aku bisa berkomunikasi dengan suamiku. Belum ada hape seperti jaman sekarang, telepon pun hanya orang-orang kota yang kaya yang bisa memilikinya. Bahkan jika ada berita penting atau berita duka, hanya berkirim telegram yang bisa kami lakukan.
Bersyukur aku memiliki empat anak. Karena setelah anak ketigaku berumur 6 tahun, kami dikaruniai anak keempat. Anak-anakku inilah yang menjadi penghiburku. Merekalah penyemangat hidupku sehingga aku kuat, sabar dan tabah menjalani kehidupanku meskipun tanpa suami berada di sisiku.
Memiliki suami guru PNS dengan status long distance marriage (hubungan pernikahan jarak jauh) dan memiliki 4 orang anak yang aku asuh sendiri membuatku berpikir untuk membantu suamiku mencari nafkah. Maka apapun yang bisa menjadi uang aku lakukan selagi itu halal.
Aku tidak malu menjual ayam kampung atau hasil kebun dan ladang ke pasar. Aku tidak takut dini hari sudah berangkat ke pasar dengan berjalan kaki melewati jurang dan menyeberangi sungai. Tidak jarang pula aku dan anak-anak menjual barang bekas untuk ditukarkan menjadi makanan.
Tunjangan beras yang diperoleh suamiku sebagai guru PNS, tidak mungkin dikirimkan kepada kami. Jadi, biasanya suami hanya mengirimkan nafkah (gaji dan tunjangan) dalam bentuk uang. Jaman dulu uang tersebut dikirimkan melalui wesel pos. Satu bulan sekali aku mengajak anak-anakku mengambil uang kiriman tersebut ke kantor pos di kota kecamatan.
Kemudian aku berpikir bahwa rasanya tidak cukup jika aku hanya mengandalkan gaji suamiku. Anak-anakku tumbuh semakin besar, tentu saja biaya hidup kami juga semakin bertambah.
Aku ingat bahwa aku memiliki sebuah keterampilan (jika belum tepat disebut sebagai keahlian) yaitu menjahit. Maka kemudian aku memutuskan untuk memanfaatkan keterampilanku agar bisa mendapatkan penghasilan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Aku bersyukur sejak muda memang suka menjahit sehingga tidak perlu lagi mengambil kursus dari awal. Aku tinggal mengembangkan keterampilanku tersebut. Pada awalnya aku sering membantu di tukang jahit dan melihat caranya potong memotong kain. Sambil belajar aku mendalaminya sendiri.
Apa yang aku dapatkan di tukang jahit, kemudian aku praktekkan lagi di rumah. Prakteknya aku sering membuat baju untuk anak-anakku sendiri. Hingga kemudian aku siap menjadi penjahit profesional meskipun tinggal di kampung. Dan aku pun sudah siap menerima pesanan orang-orang.
Alhamdulillah satu per satu pelanggan berdatangan. Bahkan banyak yang menjadi pelanggan tetapku setelah mereka merasa cocok dengan hasil jahitanku. Hasil jahitanku rapi. Aku pun bisa membuatkan model sebagaimana yang diinginkan pelanggan.
Selain memiliki pelanggan tetap, tidak jarang pula aku menerima proyek menjahit pakaian seragam dalam jumlah besar. Tetapi biasanya aku kerjakan bersama-sama dengan teman penjahit yang lain. Sekalian bagi-bagi rejeki dengan teman sejawat.
Apakah aku tidak repot merawat empat anak yang masih kecil-kecil sambil menjahit? Alhamdulillah tidak. Karena anakku yang besar bisa menjaga adik-adiknya. Biasanya saat aku sedang repot dengan banyaknya pesanan, aku minta anakku yang besar mengajak adik-adiknya untuk bermain.
Setelah suamiku pindah tugas kembali ke kampung halaman, aku tetap meneruskan usaha menjahitku. Aku sudah sangat nyaman dengan memiliki usaha sendiri yang bisa aku kerjakan dari rumah saja. Hasilnya bisa aku gunakan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami.
Untuk kemajuan dan keberlangsungan usahaku sebagai penjahit, aku pun ikut kelompok penjahit. Dari sana aku mendapat bantuan berupa uang dari kelompok pemberdayaan perempuan Yogyakarta. Tahun berapa tepatnya, aku lupa. Uang bantuan tersebut aku belikan mesin obras dan etalase.
Suamiku sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai guru PNS, lalu apakah aku ikut pensiun? Tentu saja tidak. Selagi aku masih mampu, aku akan terus menerima pesanan jahitan. Lagipula aku adalah orang yang tidak bisa diam, harus selalu ada kegiatan yang bermanfaat. Bersyukur suamiku juga terus mendukung kegiatanku ini.
Di masa pandemi ini dimana kegiatan perekonomian mengalami pelambatan, aku pun merasakan dampaknya. Pesanan jahitan memang tidak seramai dulu, namun demikian alhamdulillah masih ada, terutama pelanggan-pelanggan tetapku. Mereka yang sudah cocok dengan jahitanku, biasanya tidak berpaling ke penjahit lain.
Meskipun dulu aku adalah lulusan sekolah kejuruan yang mana untuk mendapatkan pekerjaan kantoran pun sebenarnya tidak terlalu sulit, tetapi aku tidak menyesal dengan memutuskan menjadi ibu rumah tangga.
Meskipun suamiku guru PNS yang mungkin gajinya tidak besar, namun aku cukup bahagia. Makin bahagia rasanya saat aku bisa berperan membantu suamiku dengan berpenghasilan dari rumah melalui usaha jahitanku.
Urusan rumah tangga tidak terbengkalai. Suami dan anak-anak terurus dengan baik. Bisa memiliki penghasilan dari rumah. Aku yakin itu adalah impian dari sekian banyak perempuan. Aku bersyukur menjadi salah satu yang mampu melakukannya.
Jujur saja, aku tidak bisa mewariskan harta kepada anak-anakku. Aku hanya bisa mewariskan kesabaran, ketabahan, dan kegigihan. Aku yakin anak-anakku telah menyaksikan sendiri bagaimana ibunya ditempa oleh kerasnya kehidupan. Sehingga mereka bisa mengambil pelajaran dan hikmah dari itu semua.
Terakhir, karena tidak satu pun anak-anakku ada yang tertarik dengan menjahit maka aku berharap suatu saat nanti ada salah satu cucuku yang akan mewarisi usaha jahitanku.
Yogyakarta, 27 Oktober 2020
Note: Kisah ini saya tulis sendiri dan sudah dibukukan dalam antologi berjudul Emak Rumahan yang diterbitkan oleh Azkiya Publishing pada bulan Desember 2020.
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.