Salah satu tantangan yang dihadapi ibu bekerja yang sudah memiliki anak adalah dilema ibu bekerja meninggalkan anak. Saya memiliki dua anak laki-laki dengan selisih usia 15 tahun. Di antara keduanya saya memiliki tantangan yang berbeda saat meninggalkannya untuk bekerja. Simak yuk pengalaman saya berikut ini.
Mengapa disebut dengan istilah dilema? Menurut KBBI, dilema adalah situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Singkatnya, dilema adalah situasi yang sulit dan membingungkan.
Begitulah yang seringkali dialami ibu bekerja yang memiliki anak. Benar-benar situasi yang sulit, bukan?
Di satu sisi seorang ibu pasti tidak akan tega meninggalkan anak yang membutuhkan kasih sayangnya sepanjang waktu. Ibu juga pasti ingin melihat tumbuh kembang anak setiap saat. Namun di sisi lain ibu bekerja harus mematuhi jam kerja dan peraturan di tempat kerja, selain memang membutuhkan penghasilan dari pekerjaannya tersebut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pengalaman Pengasuhan Anak Saat Ibu Harus Bekerja
Berikut ini pengalaman saya mengenai pengasuhan anak di saat saya bekerja di luar rumah. Ini murni pengalaman saya, jika ada yang sama alhamdulillah kita senasib; jika tidak ada, setidaknya pengalaman saya ini bisa menjadi pertimbangan atau perbandingan.
1. Anak Diasuh oleh Neneknya
Ketika anak pertama lahir, saya dan suami mengasuhnya sendiri selama 4 bulan. Dua bulan pertama saya masih memegangnya full, karena masih mempunyai jatah cuti. Di bulan ke-3 dan ke-4 saya serahkan kepada suami, karena saya sudah masuk kerja lagi.
Di bulan ke-4 rumah yang kami tinggali kebanjiran. Lalu saya bawa si kakak yang masih berusia 4 bulan itu ke rumah orang tua saya. Kami mengungsi di sana. Namun rupanya keterusan. Sejak saat itu si kakak diasuh neneknya selama saya bekerja. Kebetulan juga si ayah melanjutkan pendidikan profesi di sebuah universitas negeri di Yogyakarta.
Waktu itu ibu saya masih kuat, baru berusia 50-an, dan si kakak adalah cucu pertamanya. Sehingga tidak ada masalah menitipkan si kakak pada neneknya. Tetapi untuk si adik, sama sekali tidak diasuh neneknya. Ibu dan bapak sih tidak keberatan, tapi saya yang tidak tega. Karena saat si adik lahir, usia ibu saya sudah mendekati kepala 7.
2. Anak Dititipkan di Educative Daycare
Si kakak sudah mengalami 3 kali perpindahan daycare. Pertama, adalah di TPA Edukatif ECCD RC (Rumah Cita). Kedua, adalah di Bim Bim Cha (Soropadan). Dan ketiga, adalah di Mata Air (Pojok Tiyasan). Yang kedua dan ketiga ini entah masih ada atau tidak sekarang.
Jujur saja sejak awal saya tidak tertarik untuk memiliki baby sitter sebagai pengasuh anak-anak saya. Saya lebih memilih menitipkan anak ke tempat penitipan anak edukatif seperti daycare yang full day. Di sana jelas ada guru atau educator yang menemani anak-anak bermain sambil belajar.
Di penitipan anak edukatif, biasanya sudah ada jadwal kegiatan anak-anak sehari-hari. Dengan demikian, sejak dini anak sudah diajarkan untuk hidup tertib, teratur dan disiplin.
3. Anak Diasuh oleh Pasangan
Beda dengan si kakak yang mengalami diasuh oleh neneknya dan dititipkan di daycare, si adik justru full diasuh oleh ayahnya selama saya bekerja. Menjelang maternity leave saya habis, saya dan suami membuat kesepakatan bahwa si adik diasuh sendiri di rumah. Karena saya harus mulai bekerja, otomatis suamilah yang memegang anak.
Beberapa bulan di awal, suami masih ditemani oleh pegawainya. O iya, meskipun bapak rumah tangga, tetapi suami juga sambil berwiraswasta kecil-kecilan. Jadi, saat sedang repot ya dia mencari asisten. Setelah tidak memakai asisten lagi, otomatis semua dipegangnya sendiri termasuk mengasuh si adik.
Beda usia 15 tahun antara si kakak dan si adik, membuat kami lebih mudah mengasuh si adik. Fokus kami tidak terpecah karena si kakak sudah sangat mandiri. Seringkali saya mensyukuri hal ini karena Tuhan memberikan amanah anak kedua tepat pada waktunya, yaitu saat anak pertama sudah besar.
Sekarang si kakak sudah kuliah, sudah mahasiswa, tentu saja sudah bisa turut mengasuh adiknya. Si adik sekarang sudah duduk di bangku TK B, sebentar lagi jadi anak SD. Saat tidak ada jam kuliah, si kakak akan dengan senang hati antar jemput adiknya sekolah. Namun jika si kakak full kuliah, otomatis suami yang mengurus si adik.
Tips Mengatasi Dilema Ibu Bekerja Meninggalkan Anak
Beda pengasuhan antara si kakak dengan si adik saat ibunya bekerja, menghasilkan output yang berbeda pula.
Si kakak karena diasuh oleh neneknya, membuat dia tidak terlalu nempel ke saya. Dampak positifnya, dia lebih mandiri dan saya lebih bebas bergerak meskipun berada dekat dengannya. Saat saya harus mengerjakan aneka proyek di rumah, si kakak tidak pernah mengganggu.
Si adik yang sejak kecil saya pegang bersama suami, sangat nempel ke saya. Selagi saya di rumah, saya harus selalu ada di dekatnya, selalu tampak dari pandangannya. Saat saya tidak ada, dia sangat mandiri; namun saat ada saya, apa-apa maunya diladeni oleh ibunya. Nah, jadinya kalau saya ada deadline proyek dari bisnis sampingan, saya memilih menyelesaikannya di luar rumah (tepatnya numpang di kantor). Setelah selesai, baru deh pulang dan menjadi milik si adik seutuhnya.
Berdasarkan pengalaman saya tadi, berikut ini saya berbagi tips untuk mengatasi dilema ibu bekerja meninggalkan anak:
1. Menghilangkan Rasa Bersalah
Saya membuang jauh-jauh rasa bersalah karena tidak bisa mendampingi anak sepenuhnya. Tidak perlu pula saya menutupi rasa bersalah dengan memanjakan anak-anak di luar jam kerja. Meskipun tanpa saya selama 8-10 jam, saya yakin anak-anak tidak kehilangan figur ibunya.
Selagi saya bekerja di luar rumah atas seijin suami saya, saya yakin bahwa Allah pun menjaga anak-anak saya. Tidak apa-apa saya tidak menjadi ibu yang sempurna, karena itu konsekuensi yang harus saya terima karena memutuskan untuk menjadi ibu bekerja.
2. Menentukan Prioritas
Saat sedang di kantor, sepenuhnya saya fokus pada pekerjaan atau urusan kantor. Sebisa mungkin saya tidak membawa pekerjaan kantor ke rumah. Tidak perlu lembur di rumah. Saat sudah di rumah, sepenuhnya saya fokus kepada rumah, suami, dan anak-anak.
Bagaimana jika anak sakit? Saat anak sakit ringan dan masih bisa ditangani dengan istirahat atau obat jalan, biasanya saya masih sanggup meninggalkannya di rumah. Tetapi ketika si anak sudah membutuhkan perawatan khusus, saya lebih memilih untuk ambil cuti. Saya memilih mengurus anak saya.
3. Menerapkan Pola Asuh “Good Enough”
Yaitu mengasuh anak-anak dengan cukup dan wajar tanpa memaksakan diri untuk menjadi sempurna. Pola ini membantu ibu dan pasangan untuk menyeimbangkan waktu dalam bekerja, mengasuh anak-anak, bahkan untuk me-time.
4. Memberi Pengertian Anak Mengapa Ibu Bekerja
Buat saya, memberi pengertian ke anak mengapa ibunya bekerja itu penting. Mereka harus diberi pengertian mengapa ibunya berbeda dari ibu teman-temannya. Ibu mereka bisa mengantar jemput sekolah setiap hari, tapi ibunya tidak.
Tidak jarang kedua anak saya bahkan saya ajak ke kantor. Biasanya pada waktu mereka libur sekolah atau pada saat wiken tetapi saya harus masuk kerja. Dengan demikian, secara tidak langsung mereka menyaksikan sendiri suasana tempat kerja ibunya, juga bagaimana ibunya bekerja.
5. Minta Dukungan dan Bantuan
Orang terdekat yang saya minta dukungan dan bantuannya tentu saja adalah suami. Sekali lagi karena sejak menikah kami memutuskan bahwa saya yang terus bekerja, maka suami bersedia menerima konsekuensinya, yaitu mengasuh anak-anak pada saat saya bekerja.
Kami meyakini bahwa menikah adalah untuk saling melengkapi dan untuk bisa bekerja sama. Pemahaman yang sama dan komunikasi yang baik membuat kami solid hingga hari ini terutama dalam urusan anak dan rumah tangga.
Setiap ibu bekerja memiliki tantangannya masing-masing. Apa yang saya alami, belum tentu sama seperti ibu yang lain. Jadi, tidak perlu takut menjadi ibu bekerja dan memiliki anak. Selagi kita bekerja karena ibadah, insyaa allah akan selalu ada jalan.
Ingat-ingat kembali tujuan awal bekerja, mungkin salah satunya ada di dalam sharing saya ini: Apa Saja Sih Motivasi Ibu Bekerja?
Memiliki nama lengkap Wiwin Pratiwanggini. Berprofesi sebagai ibu bekerja full-time, ibu rumah tangga (1 suami + 2 anak laki-laki), dan freelance blogger. Baginya blog adalah media menulis untuk bahagia (work-life balance). Blog ini juga terbuka untuk penawaran kerjasama. Pemilik blog bisa dihubungi melalui email atau WhatsApp. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini.
Saya banget mbak. Setiap hari masih sering muncul dilema utamanya rasa bersalah. Anak pertama saya sudah 7 tahun, dari bayi sudah masuk preschool & daycare. Begitu juga anak ke 2 dan ke 3 saya. Dari usia 4 bulan sudah masuk preschool & daycare. Karena saya dan suami sama2 bekerja. Tiap hari masih terus belajar menghilangkan dilema, tapi sampai skrang belum berhasil 100%????
memang harus punya support system yang baik ya kalau kita memutuskan akan meninggalkan anak untuk bekerja. semoga diberikan kemudahan bagi para ibu bekerja buat tetap membersamai anak-anaknya 🙂
Waktu saya masih kerja, saya juga menitipkan anak di ibu saya, di neneknya…
Pas anak udah mau masuk sekolah, udah deh saya berhenti dan fokus ke anak serta keluarga
Saya pernah lihat contohnya, teman kerja saya ada yang menitipkan anaknya ke Day Care dan ke neneknya. Ada tetangga Mbak saya yang gantian menjaga anaknya dengan suaminya. Saya lihat semuanya berjalan lancar karena sepertinya semua sudah didiskusikan sejak awal. Setidaknya saya tidak permah mendengar mereka mengeluh.
Setiap keluarga tentunya mempunyai kebijakan masing-masing ya kan, saya dan suami sepakat dan mengis=zinkan saya bekerja, sehingga yang terjadi adlah saling support dalam pembagian pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak
saya siapkan semua kebutuhan anak sebelum berangkat kerja, anak diasuh oleh mama selama saya bekerja, begitu saya pulang, semuanya kembali ke saya, alhamdulillah so far ok, anak-anak pun juga tetap nempel saya bukan dengan utinya, karena bagaimanapun juga anak-anak tanggung jawab kami berdua orangtuanya
Pasti nih dilema karena ada tanggung jawab urusan kerjaan dan ingin terus mendampingi anak, memanfaatkan waktu sebaiknya kalau punya waktu lebih dengan anak, di sini ada beberapa day care dan kegiatannya nggak bikin bosen anak
Wahh jarak usia anak pertama dan kedua jauh juga ya Kak. Hampir sama nih, antara saya dan adik bungsu dulu jarak usianya 16 tahun jadi udah bisa bantu ngasuh.
Setuju sih Kak mending anak dititipkan di daycare karena bisa sekalian belajar dan sosialisasi dengan teman sebaya.
Kebijakan setiap keluarga pastinya beragam ya
tinggal sesuaikan dengan kondisi dan juga kemampuan tubuh, khususnya untuk si ibu.
Istri saya pernah ingin bekerja, tapi masih ada si bungsu yang kelas 2 SD. Kalo kerja, pasti di rumah cuma sama kakaknya aja. Emang sih dilema banget kalo di posisi ini. Daripada diasuh sama bukan orang tuanya, mending nggak jadi aja. INi keputusan yang kami rembuk sebelumnya.
Wah sang suami patut mendapat penghargaan nih, suami ter debest mengasuh si bungsu di rumah. Keren sih…
Setuju dengan tips-tips mengatasi dilema ibu bekerja meninggalkan anak. Very nice article !!
Dari cerita Mbak Wiwin, setiap anak kalau berbeda pola asuhnya, maka outputnya juga berbeda ya Mbak. Tapi dengan beda 15 tahun, si kakak bisa membantu sang adik dalam banyak hal. Namun dilema Mbak Wiwin sebagai ibu pekerja Alhamdulillah sudah terlewati. Insya Allah selalu ada solusinya.
Perasaan bersalah pasti ada pada ibu yang memilih untuk bekerja dan meninggalkan anaknya. Menghilangkan rasa bersalah itu penting. Karena bekerja juga upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan anak soal pendidikan untuk masa depannya nanti.
Memang jadi tantangan tersendiri bagi ibu yang bekerja dan memiliki anak.
saya sendiri saat anak ada yang dititipkan maka saya akan meninggalkannya terutama kepada neneknya tapi ada kala neneknya sendiri sibuk mau tak mau Saya biasanya membawanya ke tempat saya bekerja yaitu ikut sekolah
memang dilema tapi ini memang sebuah pilihan sih. Jangan lupa untuk mengingat bahwa pentingnya komunikasi dan keterbukaan dengan anak. Hal ini akan membantu anak memahami mengapa ibu harus bekerja dan menumbuhkan rasa percaya diri pada mereka.
Perasaan gak tega saat meninggalkan anak saat bekerja memang hal yang wajar bagi orang tua, tapi sebisa mungkin orang tua juga harus memanfaatkan waktu saat luang untuk anak biar interaksi anak dan orang tua tetap baik meski sering ditinggal saat kerja
Memilih menjadi ibu bekerja itu bukanlah sesuatu yang salah atau anomali. Awalnya memang akan ada saja bisikan-bisikan yang bikin perasaan naik turun, tapi ya yuk dihadapi saja dulu.
Saya pun menerapkan hal serupa dengan mengijinkan suami mengambil alih si kecil bila saya sedang bekerja di luar rumah, Mba. It’s ok. Rasanya pun lebih tenang karena di-handle oleh ayahnya sendiri.
Bedanya jauh ya mbak 15 tahun. Pasti dilema sih ya, kalau harus meninggalkan anak untuk bekerja. Ada plus minusnya juga. Rasa bersalah juga pasti ada, yang penting tetap semangat terus ya mbak. Alhamdulillah si kakak jadi lebih mandiri ya.
Senang membaca tentang kompaknya Mbak Wiwin dan suami mengasuh dan mendidik anak. Semoga selalu solid dan harmonis di jalan Allah.
Yg bikin galau itu, pas udah siang, tinggal berangkatnya aja anak ada drama dan nangis. Kadang ya main tega, ditinggal gitu. Karena kalau saya udah pergi ya berhenti nangisnya.
Kalau saya lagi melow, kadang saya bujuk dulu. Sampai 15 menitan. Haaa…
Dilema emang. Tapi, apa pun itu, terpenting dijalani dg baik. Semua pilihan pasti ada suka dan dukanya.
Baru aja aku dikabarin kalo tetanggaku mau pergi ke luar negeri. Dia meninggalkan anaknya yang baru setahun lahir. Aku tuh paling nggak kuat ninggalin anak kalo kondisinya kyk gini. Apalagi dia itu ibu loh.
Mending para suami, giatlah bekerja biar istrimu di rumah mengurus anak. Kalo disuruh bekerja, usahakan jgn melampaui batas dan semampunya aja. Ya sekadar membantu keuangan suami lah. Jgn sampe hrs meninggalkan rumah dan tetap harus mengurus rumah tangga serta anak. Capek bgt itu bos!
Soal meninggalkan anak ini memang sampai sekarang masih jadi banyak pertimbangan bagi orangtua yaahh, terutama yang sedang bekerja.
inilah salah satu alasan kenapa saya memilih jadi IRT setelah menikah. karena pernah jadi anak dari ortu yang keduanya kerja. dan itu gak enak banget meski saya tahu itu untuk kebaikan saya dan adik adik secara finansial. tapi ada sisi trauma lain akibat kedua ortu bekerja. alhamdulillah suami mendukung jadi saya memilih jadi working mom at home saja.
tapi ini saya ya, beda rumah tangga beda juga keputusan dan kesepakatan. semua memang kembali ke kesepakatan dan betul betul disadari gitu. jadi dimana ada dilema bisa segera di atasi.
Yg paling penting sih menurutku adalah support sistemnya. Kalo oke, maka2 ibu bekerja bs lebih enjoy. Tp kalau ga ya bakal repot. Terutama untuk pasangan nih, harus jd pendukung utamanya.
Dari 5 tips di atas, tips nomor 3 yang paling sulit dilakukan oleh orang dengan tipe perfeksionis.
Karena setiap orang selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya.
Namun, segala keterbatasan juga patut menjadi pertimbangan agar tidak memicu stres diri sendiri, kan.
MashaAllaa~ yaa..
Nikmatnya tinggal di kota besar tuh salah satunya ada support system seperti Daycare.
Di Daycare biasanya lengkap dengan pengasuh dan tempat bermain yang menyenangkan. Tapi alangkah lebih menyenangkan kalau diasuh oleh keluarga. Karena bagaimanapun, keluarga paling memahami kebutuhan ananda.
Meskipun aku IRT tapi aku setuju dengan pola asuh Good Enough buat ibu. Nggak perlu jadi ibu sempurna yang penting bahagia dan anak juga sudah memiliki well being.